Gorontalo, mimoza.tv – Kebijakan efisiensi yang diberlakukan oleh pemerintah pusat mulai memberikan dampak signifikan terhadap industri perhotelan. Sejumlah hotel di Jawa Barat dan Gorontalo kini merasakan tekanan dari kebijakan tersebut, yang berpotensi memicu pemutusan hubungan kerja (PHK) di berbagai sektor terkait.
Industri perhotelan merupakan salah satu pilar ekonomi dengan rantai dampak yang luas. Jika industri ini mengalami penurunan signifikan, tidak hanya karyawan hotel yang terdampak, tetapi juga sektor-sektor pendukungnya seperti jasa transportasi, pemasok bahan makanan dan minuman, hingga agen perjalanan dan event organizer.
Mengutip laporan Pikiranrakyat.com, hingga pertengahan Februari 2025, total pembatalan agenda meetings, incentives, conferences, and exhibitions (MICE) dari pemerintahan untuk hotel bintang 3, 4, dan 5 di Kota Bandung mencapai Rp 12,8 miliar. Jika kebijakan efisiensi perjalanan dinas dan MICE tetap berlanjut, diperkirakan 50% pekerja di industri perhotelan di Jawa Barat akan terkena dampaknya. Beberapa di antaranya berisiko mengalami PHK atau beralih status menjadi pekerja harian (daily worker).
Ketua Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) Jawa Barat, Dodi Ahmad Sofiandi, mengungkapkan bahwa pengelola hotel masih berusaha bertahan hingga tiga bulan ke depan, atau setidaknya hingga Idulfitri. Namun, jika kondisi tidak membaik, langkah pemangkasan akan diambil, termasuk efisiensi dalam penggunaan sumber daya operasional dan pengurangan tenaga kerja di berbagai divisi, mulai dari waiter, housekeeping, sekuriti, hingga bagian dapur.
“Imbas kebijakan efisiensi sesuai Inpres No. 1 Tahun 2025 ini sangat panjang. Untuk industri perhotelan, pengurangan agenda MICE berdampak signifikan, mengurangi sekitar 40% dari total pendapatan hotel,” ujar Dodi seperti dikutip dari Pikiranrakyat.com.
Sejak awal tahun 2025, tingkat okupansi hotel di Jawa Barat masih berada di angka 30%, jauh di bawah angka minimum 55% yang diperlukan agar hotel tetap beroperasi tanpa mengalami defisit. Dengan kondisi ini, pemasukan hotel terus mengalami minus sebesar 25% setiap bulan.
Senada dengan hal tersebut, Fitriyah, seorang mahasiswa Jurusan Pariwisata di Gorontalo, menyoroti keterkaitan erat industri perhotelan dengan sektor-sektor pendukung lainnya. Menurutnya, penurunan bisnis perhotelan juga akan berdampak pada jasa sewa kendaraan, pemasok bahan makanan dan minuman, agen perjalanan, hingga jasa laundry dan kebersihan.
“Jika jumlah tamu hotel menurun, maka permintaan untuk transportasi, baik penjemputan bandara, perjalanan wisata, maupun kebutuhan bisnis, juga ikut berkurang. Hal ini juga berlaku untuk pemasok bahan makanan dan minuman yang sangat bergantung pada permintaan dari restoran hotel dan layanan kamar,” ujar Fitriyah.
Lebih lanjut, ia menambahkan bahwa penyedia jasa event organizer (EO) dan MICE juga terkena dampaknya, mengingat hotel sering menjadi lokasi utama untuk acara bisnis, seminar, dan pernikahan. “Jika permintaan hotel terus menurun, maka bisnis di sektor ini juga akan mengalami kesulitan. Apalagi di Gorontalo sendiri kita tau bersama sebagian besar kegiatan-kegiata Pemda itu menggunakan hotel.Termasuk dari Pemda daerah lain yang berkegiatan di Gorontalo,” tambahnya.
Fitriyah menegaskan bahwa kebijakan efisiensi ini memperlihatkan betapa pentingnya industri perhotelan dalam ekosistem ekonomi yang lebih luas. Jika industri ini berkembang, sektor-sektor pendukung pun ikut mendapatkan manfaat. Sebaliknya, jika industri ini mengalami krisis, efek domino yang lebih luas pun tak bisa dihindari.
Penulis: Lukman.