Oleh : Funco Tanipu (Dosen di Universitas Negeri Gorontalo)
Praktek berpuasa bagi umat Islam selama bulan Ramadan telah berlangsung ribuan kali sejak era Nabi.Khusus untuk kita di Gorontalo, puasa baru berlangsung sekitar 500 tahun.
Hitungan “kasar” ini bermula dari tahun 1525 sejak Islam menjadi agama resmi di Gorontalo. Artinya, untuk Gorontalo sendiri, baru 500 kali puasa Ramadan dilangsungkan. Bagi peradaban lain, puasa Ramadan telah berlangsung lebih lama.
Pertanyaannya, jika Ramadan dianggap sebagai proses untuk menyucikan diri dan jiwa, apakah ada perubahan yang fundamental terjadi di Gorontalo selama 500 tahun ini? Apakah puasa yang telah berlangsung selama 500 kali ini telah berhasil membawa perbaikan karakter bagi masyarakat Gorontalo secara umum?
Dan jika misalnya (katakanlah) telah terjadi dari perbaikan karakter masyarakat tersebut, apakah berefek pada ;
(1). Kemiskinan semakin berkurang.
(2). Pengangguran semakin berkurang.
(3). Ketimpangan semakin mengecil.
(4). Lingkungan semakin asri.
(5). Aktifitas keagamaan semakin meningkat.
(6). Kriminalitas semakin berkurang.
(7). Pelayanan publik semakin prima.
Apakah keberlangsungan puasandi bulan Ramadan selama 500 kali ini telah mencapai minimal 7 poin diatas? Ataukah, 7 poin diatas malah semakin minimal atau bahkan menurun?
Jika misalnya malah semakin memburuk, bagaimana kaitannya dengan puasa yang telah diulang-ulang selama 500 kali ini? Apakah puasa tidak memiliki kaitan yang signifikan dengan peningkatan kualitas masyarakat? Ataukah, puasa dianggap sebagai praktek yang terpisah dan tidak berkaitan dengan perubahan sosial?
Jika kita melihat data statistik tentang Gorontalo dalam beberapa dekade terakhir, sepertinya puasa tidak inheren dengan perubahan sosial. Bisa jadi, pada beberapa orang memang ada perubahan. Tapi pada masyarakat, sepertinya hal tersebut tidak linier.
Jika demikian keadaannya, apakah puasa sebagai salah satu instrumen untuk memperbaiki orang dan masyarakat masih “relevan” untuk dijadikan momentum perbaikan secara keseluruhan?
Bahwa puasa adalah salah satu syariat yang harus dijalankan adalah benar, dan bahkan sebuah kewajihan. Tetapi, mengapa perubahan sosial tidak menjadi lebih baik? Bukankah setiap perintahnya (melalui Nabi) adalah untuk memperbaiki akhlah budi pekerti dan peradaban itu sendiri, tetapi mengapa puasa sebagai salah satu instrumen perbaikan sepertinya tidak lagi “memadai” untuk menjadi instrumen perbaikan?
Pertanyaan lanjut, jika misalnya 500 kali puasa dianggap belum “memadai” untuk menjadi instrumen perbaikan, masih butuh berapa kali Ramadan lagi masyarakat Gorontalo secara keseluruhan agar kompak dan solid dalam menjadikan Ramadan sebagai proses refleksi dan koreksi kolektif demi terwujudnya jargon dan cita-cita (yang telah berulang-ulang menjadi judul spanduk) yakni Serambi Madinah.
Atau jangan-jangan puasa Ramadan sekedar hanya dijadikan ajang komodifikasi agenda-agenda yang bersifat seremonial : flyer ucapan puasa, pasang spanduk ucapan di tiap pagar masjid, story ayat-ayat suci beserta wajah elit di media sosial, story keutamaan tarwih dari malam pertama sampai terakhir, parade bukber komunitas, sahur on the road, lomba tumbilotohe dan berbagai atraksi yang seakan-akan religius.
Bahwa agenda-agenda tersebut adalah bagian dari menyemarakkan Ramadan bisa dimaklumi, tetapi seakan-akan yang hanya menjadi “bagian” malah dijadikan tujuan dari Ramadan itu sendiri. Pun demikian jelang Idul Fitri, kegirangan beli baju baru, kursi di ruang tamu harus baru, mengecat, THR, bahkan di beberapa kalangan atraksi memakai sarung BHS agar tampak elit dibanding kaum miskin lain yang hanya bisa membeli sarung murah meriah di Pasar Senggol.
Hingga memasuki Idul Fitri yang hampir semua materi khotbah diisi oleh isak tangis saat Khotib menyampaikan tentang kehilangan orang tua dan sebagainya, dan selesai dari parade tangisan tersebut, kembali ke “setinggan pabrik”. Tidak ada yang berubah. Atau, jangan-jangan apa yang kita jalani dan praktekkan selama 500 tahun ini hanyalah seperti gambaran Rasulullah silam ; “hanya lapar dan haus”?
Tetapi, tentu saja Allah tak berdiam diri di singgasanaNya. Sebagaimana banyak peradaban-peradaban yang telah luluh lantak bahkan punah (mololopu) yang diakibatkan oleh pengabaian pada ketentuan dan aturanNya, maka apakah kita baru akan sadar dan bisa merefleksikan keadaan harus melalui proses “mololopu” tersebut agar kita bisa sadar dan disadarkan?
Ramadan masih beberapa hari lagi, kesempatan masih ada tentunya. Usia tak ada yang bisa menebak, apakah puasa tahun 2026 masih bisa diikiuti, atau sudah menjadi bagian yang ditangisi pada saat khutbah Idul Fitri tahun 2026 nantinya?
Semua terserah pada diri kita masing-masing. Petunjuk dan tanda telah ada, tergantung kita bagaimana membacanya dan merefleksikannya.