Gorontalo, mimoza.tv – Program Makan Bergizi Gratis (MBG), yang resmi diluncurkan Pemerintahan Presiden Prabowo Subianto dan Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka pada 6 Januari 2025, mendapat kritik dari akademisi Universitas Negeri Gorontalo (UNG), Funco Tanipu. Ia menyoroti berbagai aspek yang dinilai masih lemah, mulai dari dasar hukum, pertimbangan teologis, hingga dampaknya terhadap budaya lokal.
Landasan Hukum Masih Umum
Dalam Seminar Nasional memperingati Hari Gizi ke-65 Tahun 2025, Funco mengungkapkan bahwa dasar hukum Program MBG masih bersifat makro dan belum diterjemahkan ke dalam regulasi teknis yang lebih rinci. Saat ini, program tersebut hanya berlandaskan Pasal 4 ayat (1) UUD 1945 serta Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 83 Tahun 2024 tentang Badan Gizi Nasional.
“Perpres tersebut hanya mengatur pembentukan Badan Gizi Nasional, tetapi tidak secara spesifik menyebutkan konsep ‘gratis’ dalam distribusi makanan bergizi. Bahkan, hingga 10 Februari 2025, belum ada peraturan lebih teknis yang mengatur pelaksanaannya,” jelas Funco.
Ia menekankan bahwa kejelasan regulasi sangat penting agar program ini berjalan efektif dan tidak menimbulkan kebingungan di tingkat daerah.
Aspek Teologis Diabaikan
Selain aspek hukum, Funco juga menyoroti bahwa program ini belum mempertimbangkan aspek teologis, terutama dalam kaitannya dengan ajaran Islam mengenai makanan. Menurutnya, dalam Islam, makanan memiliki dimensi spiritual yang sangat penting, termasuk soal kehalalan dan keberkahan.
Ia mengutip berbagai ayat Al-Qur’an, seperti Al-Insan ayat 8-9 yang menekankan pentingnya memberi makan orang miskin sebagai bentuk ketakwaan kepada Allah. Hadis Nabi juga banyak yang menekankan pentingnya berbagi makanan dengan sesama.
“Sejarah mencatat bahwa praktik makan gratis sudah ada sejak zaman pra-Islam, seperti yang dilakukan Qushay bin Kilab, leluhur Nabi Muhammad SAW, dalam mengelola Kakbah. Program MBG bisa lebih kuat jika berlandaskan semangat gotong royong dan nilai-nilai keagamaan,” paparnya.
Menghilangkan Kearifan Lokal
Funco juga menilai bahwa MBG berpotensi mengikis budaya makan khas daerah. Dalam konteks Gorontalo, terdapat banyak tradisi berbagi makanan seperti Depita (saling mengantar makanan), Bilohe (pemantauan terhadap warga yang kekurangan makanan), Dudula (membantu tetangga yang kesulitan), serta berbagai sistem sosial lain yang berbasis kepedulian komunitas.
“Dengan model pelaksanaan yang hirarkis dan seragam, program ini bisa mengabaikan peran organisasi masyarakat seperti paguyuban desa, kelompok ibu-ibu, hingga kantin sekolah yang sebelumnya menjadi bagian dari ekosistem pangan lokal,” jelasnya.
Selain itu, sistem dapur umum yang diterapkan dalam MBG berpotensi menghilangkan teknologi memasak tradisional dan mematikan usaha kecil di sektor makanan.
“Misalnya, penyeragaman menu bisa menyebabkan hilangnya identitas kuliner daerah seperti iloni, gudeg, rendang, dan coto,” tambahnya.
Alternatif Model Pelaksanaan
Menanggapi kebijakan ini, Funco mengusulkan agar pemerintah mempertimbangkan model keempat dalam implementasi MBG, yaitu skema berbasis partisipasi masyarakat.
“Tiga model yang ada saat ini—yakni swakelola oleh Badan Gizi Nasional, kerja sama antar kementerian, dan kemitraan dengan pihak swasta—berpotensi mengikis struktur sosial lokal. Jika MBG melibatkan masyarakat secara langsung, misalnya melalui inovasi dalam pengelolaan menu dan pembiayaan gotong royong, anggaran negara bisa lebih hemat,” tegasnya.
Funco mengingatkan bahwa tanpa evaluasi menyeluruh terhadap landasan hukum, pelaksanaan, serta dampak sosialnya, program MBG bisa kehilangan kepercayaan publik.
“Saya menyarankan Presiden Prabowo Subianto untuk segera melakukan kajian ulang terhadap perencanaan, pelaksanaan, dan pembiayaan MBG. Jika tidak, dikhawatirkan program ini justru akan menjadi beban dan menimbulkan ketidakpercayaan rakyat,” pungkasnya. (rls/luk).