Oleh: Sindu Abdul Aziz
Di tengah gempita demokrasi lokal yang semakin riuh dengan opini dan komentar, hadirlah sebuah tulisan berjudul “Kesesatan Berpikir Jubir Wali Kota Gorontalo” oleh Lion Hidjun. Sebuah karya yang tampaknya ditulis dengan penuh semangat, meski sayangnya tanpa ditemani oleh kedalaman substansi maupun data yang seharusnya menjadi sahabat akrab seorang “pengamat.”
Tulisan tersebut, bukannya memperkaya ruang diskusi publik, malah menjelma jadi etalase opini yang kosong isi namun nyaring bunyinya. Jika ini adalah bentuk “pengamatan”, maka tampaknya teropong yang dipakai bukan milik ilmuwan, tapi senter rusak yang baterainya habis.
Jurubicara Wali Kota Gorontalo, dalam klarifikasinya, sudah menyampaikan dengan gamblang bahwa realisasi PAD Kota Gorontalo di Triwulan I 2025 yang sebesar 18,16 persen bukanlah fenomena tunggal atau tanda kiamat fiskal. Bahkan data resmi dari Kementerian Dalam Negeri menunjukkan banyak kota lain di republik ini—termasuk yang lebih besar dan lebih tua—mengalami capaian PAD yang lebih rendah.
Namun bagi Lion, tampaknya angka hanyalah ornamen. Data hanyalah pelengkap cerpen. Dan kritik, alih-alih berbasis riset, malah jadi wahana pelepas dendam intelektual.
Ia menuduh pemerintah melakukan “defleksi,” padahal tulisan beliau sendiri justru berputar-putar seperti komidi putar yang kehilangan sumbu tengah. Yang dikritik adalah angka, tapi yang dipersoalkan adalah gaya bahasa. Yang dipermasalahkan adalah realisasi fiskal, tapi yang diserang adalah juru bicara. Seperti membeli buku ekonomi, tapi berharap isinya novel roman.
Jika Lion benar pengamat, maka patut ditanyakan: di mana analisanya? Di mana datanya? Apa variabel perbandingannya? Jangan-jangan yang diamati bukan kondisi fiskal, tapi kolom komentar media sosial.
Dan tentu, sebagai pengamat, ada satu nasihat sederhana yang mungkin bisa direnungkan: “Jangan mengukur kaki sendiri dengan sepatu orang lain, tidak akan cocok.” Sebab menilai kinerja anggaran hanya dari sudut pandang pribadi, tanpa mempertimbangkan beban administratif, regulasi fiskal, dan dinamika pusat-daerah, adalah seperti menilai ikan dari cara memanjat pohon.
Sikap pemerintah tidak antikritik. Justru, pemerintah Kota Gorontalo membuka ruang seluas-luasnya untuk diskusi terbuka, transparan, dan berbasis fakta. Tapi tentu, diskusi butuh kesetaraan nalar, bukan hanya kecepatan mengetik opini tanpa cek silang.
Tulisan Lion bukan kritik, tapi lelucon yang dibungkus serius. Bukan pengamatan, tapi pernyataan yang kesepian dari data. Maka wajarlah jika publik bertanya: apakah ini pengamat sungguhan, atau hanya komentator dadakan yang merindukan panggung?
Karena kritik yang baik ibarat kopi pahit: kuat, tajam, tapi tetap menyegarkan. Sedangkan opini yang tak berbasis data hanyalah air gula basi—manis di awal, mual di akhir.