Kabupaten Gorontalo, mimoza.tv – Fenomena kawin siri dan pernikahan bawah tangan di Kabupaten Gorontalo bukan sekadar masalah moral, tapi juga administrasi negara. Data terbaru Disdukcapil mencatat ada 38.406 pasangan yang perkawinannya belum tercatat negara.
Tak berhenti di situ, 1.197 perceraian juga tidak memiliki akta cerai, sementara 27.407 anak hanya tercatat sebagai anak ibu dalam akta kelahiran. Artinya, secara hukum, ribuan anak di Gorontalo tidak memiliki pengakuan ayah di dokumen resmi negara.
Bom Waktu Administrasi
Seperti yang mimoza.tv kutip dari Gosulut.id, Kepala Disdukcapil Kabgor, Muhtar Nuna, menyebut kondisi ini sebagai bom waktu.
“Kalau tidak segera ditangani, ribuan keluarga dan anak akan kehilangan kepastian hukum, termasuk hak sipil yang semestinya dilindungi negara,” tegas Muhtar, Kamis (21/08/2025).
Menurutnya, masalah ini muncul karena banyak pasangan menikah tanpa melalui prosedur resmi di Kantor Urusan Agama (KUA). Ada yang menikah di bawah umur, ada juga yang menikah siri tanpa syarat administrasi lengkap.
Solusi: Inovasi “Pasutri”
Untuk mengatasi persoalan tersebut, Disdukcapil meluncurkan inovasi Pelayanan Administrasi Suami-Istri Terintegrasi (Pasutri). Layanan ini memadukan pernikahan resmi di KUA dengan penerbitan dokumen kependudukan sekaligus.
Pasangan yang menikah akan langsung mendapatkan buku nikah, KTP dengan status baru, KK baru sebagai pasangan, dan pemecahan KK dari orang tua. “Satu kegiatan bisa menghasilkan lima dokumen,” jelas Muhtar, dikutip dari Gosulut.id.
Anak Tanpa Ayah di Dokumen Negara
Uji coba Pasutri di Kecamatan Tilango mengungkap fakta mencengangkan. Dari 20 pasangan yang dinikahkan massal, 19 anak tercatat tanpa ayah dalam akta kelahiran.
“Kami dorong orang tua mengurus penetapan asal-usul anak lewat Pengadilan Agama. Dengan begitu, hak anak bisa diakui penuh secara hukum,” kata Muhtar.
Tantangan ke Depan
Meski inovasi Pasutri diapresiasi KUA dan masyarakat, persoalan mendasar masih menumpuk. Puluhan ribu pasangan di Gorontalo harus segera mendapat kepastian hukum agar tidak terus menjadi korban pernikahan tanpa pencatatan negara.
“Ini pekerjaan besar. Negara harus hadir, bukan hanya memberi buku nikah, tapi memastikan hak-hak anak dan keluarga terlindungi,” pungkas Muhtar.
Penulis: Lukman.