Pada era Orde Baru, Koperasi Unit Desa (KUD) muncul sebagai tulang punggung ekonomi pedesaan. Hampir 9.000 unit dibentuk di seluruh Indonesia, dengan anggota mencapai sekitar 13,4 juta kepala keluarga. Dalam dokumen sejarah dan liputan Media Indonesia, KUD digadang-gadang sebagai solusi penyediaan pupuk, distribusi beras, dan kredit murah bagi petani.
Namun, sejarah mencatat kenyataan getir: banyak KUD akhirnya “tinggal nama” atau kolaps. Di Jawa Barat, misalnya, dari 486 KUD yang tercatat, 170 unit dilaporkan tidak aktif, sekitar 35 persen. Di banyak daerah lain, proporsi KUD aktif hanya tinggal 30 persen dari jumlah puncak pembentukan. (Media Indonesia)
Apa penyebabnya? Kajian lapangan dan laporan sejarah menggarisbawahi beberapa pola:
- Ketergantungan pada subsidi dan proteksi negara: saat bantuan pemerintah dicabut, KUD kehilangan model bisnis.
- Manajemen ditunjuk dari atas: pengurus yang tidak kompeten dan politisasi lembaga membuat manajemen buruk.
- Masalah kredit macet: program kredit usaha tani (KUT) tidak selalu kembali, menghancurkan finansial KUD.
- Perubahan ekonomi dan pasar: liberalisasi dan kompetisi baru membuat fungsi KUD sebagai distributor lokal pupuk atau beras kehilangan relevansi.
Sejarah KUD memberi pelajaran penting: koperasi sejati harus tumbuh dari bawah, oleh dan untuk anggota, bukan dibentuk sepihak oleh pemerintah atau penguasa. Seorang ekonom senior pernah menekankan, “Koperasi hanya bisa hidup kalau anggotanya merasa membangun rumah sendiri, bukan menumpang di rumah orang lain.”
Refleksi ini relevan bagi siapa pun yang merancang kebijakan ekonomi berbasis koperasi hari ini. Membangun dari atas mungkin terlihat efisien, tetapi membangun dari bawah adalah satu-satunya cara untuk memberi daya tahan. Tanpa roh partisipasi anggota dan kepemilikan sejati, koperasi — sekokoh apapun awalnya — bisa runtuh begitu bantuan berhenti.
🔗 Sumber Referensi