Penahanan dua tersangka baru kasus dugaan korupsi proyek Kanal Tanggidaa kembali mengguncang publik. Pada Selasa (7/10/2022), Kejati Gorontalo menahan HS, mantan Kadis PU Provinsi Gorontalo, dan AR, pemilik pekerjaan. Langkah ini hanya berselang dua pekan setelah tiga terdakwa lain — Romen Lantu, KL, dan KW — divonis penjara dalam perkara yang sama.
Proyek yang dibiayai dengan pinjaman Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) itu sejak awal penuh masalah. Alih-alih memberi manfaat nyata, pengerjaan Kanal Tanggidaa justru menimbulkan dampak sosial-ekonomi bagi warga. Debu bertebaran, akses jalan terganggu, genangan air makin meluas, dan tak sedikit usaha kecil di sepanjang bantaran sungai yang terpaksa tutup sementara.
Kini, Kejati menyimpulkan adanya kerugian negara miliaran rupiah. Namun, di luar ranah hukum yang sedang berjalan, publik mulai mengajukan pertanyaan yang lebih mendasar: bagaimana peran DPRD Provinsi Gorontalo dalam proyek ini?
DPRD Tidak Boleh Sekadar Stempel
Dalam konstruksi tata kelola keuangan daerah, DPRD bukan pihak pasif. Pinjaman daerah, termasuk dana PEN, hanya bisa dijalankan setelah ada persetujuan DPRD melalui keputusan resmi. Artinya, DPRD punya peran sentral — bukan hanya memberi legitimasi, tapi juga memastikan setiap rupiah digunakan untuk kepentingan rakyat.
Fungsi pengawasan pun melekat. DPRD memiliki kewenangan menggelar rapat dengar pendapat, memanggil pejabat teknis, hingga turun langsung ke lokasi. Pertanyaannya: apakah fungsi ini sudah benar-benar dijalankan?
Fakta di lapangan menunjukkan warga harus menanggung dampak negatif. Usaha kecil rugi, kesehatan terganggu, dan akses publik terhambat. Jika suara warga ini tak kunjung mendapat jawaban, wajar bila kepercayaan publik pada DPRD ikut terkikis.
Waktu untuk Membuktikan
Kejaksaan sudah menunaikan tugasnya dengan menyeret pelaku teknis dan kontraktor ke meja hijau. Kini giliran DPRD membuktikan diri. Ada setidaknya tiga langkah yang bisa dilakukan segera:
- Mengusut transparansi pinjaman PEN: mulai dari proses persetujuan hingga perubahan kontrak proyek.
- Menghimpun data dampak sosial-ekonomi warga akibat proyek, lalu mendorong solusi kompensasi yang adil.
- Menunjukkan keberpihakan nyata lewat pengawasan berkelanjutan, bukan hanya formalitas rapat sesaat.
Penutup
Proyek Kanal Tanggidaa adalah cermin bahwa pembangunan bisa menjadi pedang bermata dua: dimaksudkan untuk kebaikan, tetapi berujung pada penderitaan. Kejati telah menunaikan tugas hukum, kini rakyat menanti langkah politik.
DPRD tak boleh sekadar menjadi stempel formalitas. Publik menunggu keberanian mereka: berani mengkritisi pemerintah, berani berpihak pada warga yang dirugikan, dan berani membuka fakta sesungguhnya.
Atau, jangan-jangan publik justru bisa menduga bahwa DPRD ikut menikmati manisnya kue PEN tersebut. Dugaan ini mungkin terasa pahit, tetapi hanya bisa ditepis bila DPRD berani tampil transparan dan menegakkan fungsi pengawasannya dengan sungguh-sungguh.