Oleh: Andri Ws Gani, SH.
Peraturan Perundang-undangan bukanlah deretan tulisan yang jatuh dari langit. Ia lahir dari suatu perenungan atas sebuah kebutuhan hukum masyarakat yang kemudian dikristalisasi dalam bentuk yang formal.
Begitu pun keberadaan peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor : 03/PRT/M/2014 yang melegitimasi fungsi sosial dan ekologis dijalur pejalan kaki sisi jalan/ trotoar yang salah satunya untuk Usaha Kecil , bukanlah regeling yang harus dipertentangkan dengan Peraturan Perundang-undangan lainnya.
Ini bukan soal conflict of norm sehingga harus saling menderogasi seperti yang disampaikan oleh Ahmad, yang menyebutkan bahwa peraturan menteri 03/PRT/M/2014 telah digunakan untuk membenarkan pelanggaran terhadap Undang-undang. Kemudian dengan lantangnya menyebut asas lex superior derogat legi inferior. Terlihat keren, tapi gagal dalam memahami konteks perdebatan.
Fungsi sosial dan ekologis dalam Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor : 03/PRT/M/2014 ini lahir berakar dari dasar filosofisnya dalam rangka memenuhi ketersediaan prasarana dan sarana jaringan pejalan kaki dikawasan perkotaan yang rencana penyediaan dan pemanfaatannya diamanatkan dalam ketentuan Pasal 28 huruf c UU Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang.
Disanalah sebab ontologis dari keberadaan peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor : 03/PRT/M/2014. Bukan dalam kerangka mengesampingkan UU 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah. Ini adalah kecacatan dalam penalaran hukum.
Meskipun Pemerintah Daerah Provinsi memiliki kewenangan sebagai penyelenggara jalan yang ditetapkan oleh Gubernur dengan mengutip kewenangan yang diatur dalam UU 23 Tahun 2014, tidak bisa juga dibaca dalam kerangka menderogasi fungsi sosial dan ekologis pada jalur pejalan kaki disisi jalan/trotoar sebagaimana dalam UU Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang yang turunan tekhnisnya diatur dalam peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor : 03/PRT/M/2014.
Semestinya yang dilakukan adalah mengharmoniasi semua perangkat Peraturan Perundang-undangan yang ada, bukan mala membentur-benturkannya.
Keterangan saudara Ahmad bahwa bila Peraturan Menteri mengizinkan pemanfaatan trotoar untuk fungsi sosial dan ekonomi, hal itu tidak serta merta dapat dilakukan tanpa izin dari penyelenggara jalan. Pernyataan ini kelihatan lucu, sebab UU No. 26 Tahun 2007 dan turunannya Permen PU No. 03/PRT/M/2014 secara khusus tidak mengatur pemanfaatan jalur pejalan kaki disisi jalan/ trotoar harus mendapatkan izin terlebih dahulu dari penyelenggara jalan. Pengaturan yang ada saat ini tidak ada yang melarang pemanfaatan fungsi penggunaan jalur pejalan kaki disisi jalan/trotoar untuk fungsi sosial, bahkan kegiatan itu dilegitimasi melalui Permen 03/2014 yang merupakan turunan dari UU Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang.
Kesalahan fatal yang penting untuk dikoreksi adalah, saudara Ahmad menegaskan dan menyebut 45 ayat (1) UU No. 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan sebagai ketentuan yang menegaskan fungsi utama trotoar adalah untuk pejalan kaki. Ini adalah kebodohan dalam membaca dan memahami isi ketentuan.
Lengkapnya ketentuan aquo menyebutkan bahwa fasilitas pendukung penyelenggaraan lalu lintas dan angkutan jalan meliputi, a. trotoar, b. jalur sepeda, c. tempat penyeberangan pejalan kaki, d. halte; dan/atau e. fasilitas khusus bagi penyandang cacat dan manusia. Maksud teleologisnya bukan menegaskan sisi absolutnya trotoar untuk pejalan kaki ansich. Kalaupun dipahami fungsi utamanya untuk pejaan kaki, pemaknaan ini tidak menggugurkan Permen PU No. 03/PRT/M/2014, dimana fungsi jalur pejalan kaki disisi jalan/ Trotoar sebagai fungsi sosial dan ekologis.
Memahami Permen PU No. 03/PRT/M/2014 bertentangan dengan Peraturan lainnya dengan menggunakan asas ex superior derogat legi inferior, merupakan kecatatan bernalar. Perdebatan ini bukan soal konflik norma (conflict of norm) ini soal penerapan norma tentang batas-batas pemanfaatan jalur pejalan kaki disisi jalan (trotoar) yang berfungsi sosial dan ekologis baik untuk pejalan kaki itu sendiri maupun untuk kegiatan usaha kecil formal (KUKF). semestinya Pemerintah sebagai penanggungjawab dimasing-masing ruas jalan memberi akses yang sama dalam pemanfaatan jalur pejalan kaki disisi jalan/ trotoar dalam fungsi sosial dan ekologisnya, bukan memperhadapkan Peraturan Perundang-undangan yang berlaku (ius constitutum).