SEPANJANG tahun 2025, Provinsi Gorontalo kembali dihadapkan pada berbagai kasus korupsi yang mencuat ke ruang publik. Perkara-perkara tersebut mencakup penyalahgunaan dana desa, proyek infrastruktur, hingga pengelolaan anggaran di sejumlah instansi pemerintahan. Di balik angka kerugian negara yang tidak kecil, tersimpan persoalan yang lebih mendasar: bagaimana amanah publik dijalankan.
Gorontalo dikenal memiliki falsafah hidup Adat bersendikan syara, syara bersendikan Kitabullah. Falsafah ini menegaskan bahwa kekuasaan bukanlah hak, melainkan titipan. Jabatan bukan sekadar kedudukan administratif, tetapi tanggung jawab moral yang harus dipertanggungjawabkan, bukan hanya kepada negara, tetapi juga kepada nilai adat dan ajaran agama yang menjadi fondasi kehidupan masyarakat.
Dalam konteks tersebut, praktik korupsi tidak dapat dipahami semata sebagai pelanggaran hukum. Ia mencerminkan pengabaian terhadap nilai yang selama ini dijunjung sebagai identitas daerah. Ketika anggaran publik disalahgunakan, yang tercederai bukan hanya keuangan negara, tetapi juga kepercayaan sosial yang dibangun di atas falsafah tersebut.
Editorial ini mencatat bahwa sistem pemerintahan sejatinya telah dilengkapi dengan regulasi dan mekanisme pengawasan. Namun, berbagai kasus yang terungkap menunjukkan bahwa keberadaan aturan belum selalu diiringi dengan integritas dalam pelaksanaannya. Banyak perkara justru melibatkan pihak yang memahami tata kelola dan prosedur, menandakan bahwa persoalannya tidak berhenti pada aspek teknis, melainkan pada pilihan etis.
Di sisi lain, penegakan hukum yang berjalan sepanjang 2025 patut dilihat sebagai upaya menjaga akuntabilitas. Proses hukum yang dilakukan aparat penegak hukum menjadi penanda bahwa pelanggaran tidak sepenuhnya dibiarkan. Namun, penanganan perkara yang cenderung hadir setelah kerugian terjadi menunjukkan bahwa pencegahan masih menjadi pekerjaan rumah yang belum tuntas.
Rangkaian kasus ini memperlihatkan adanya jarak antara nilai yang diwariskan dan praktik yang dijalankan dalam pemerintahan sehari-hari. Falsafah adat kerap hadir dalam seremoni dan wacana, tetapi belum sepenuhnya menjadi landasan dalam pengambilan keputusan anggaran dan kebijakan publik. Di ruang inilah, korupsi menemukan celahnya—bukan karena ketiadaan aturan, melainkan karena nilai tidak dijadikan kompas utama.
Pada saat yang sama, peran pengawasan internal, penegakan hukum, serta partisipasi masyarakat menjadi elemen yang saling berkaitan. Ketika salah satunya melemah, potensi penyalahgunaan kewenangan semakin terbuka. Catatan ini menunjukkan bahwa persoalan korupsi di Gorontalo bukan hanya tentang individu, melainkan tentang bagaimana sistem, nilai, dan keteladanan berjalan secara bersamaan—atau justru saling mengabaikan.
Editorial ini tidak bermaksud menghakimi, melainkan mengajak publik melihat persoalan secara lebih utuh. Kasus-kasus yang muncul sepanjang 2025 menjadi cermin tentang pentingnya menghidupkan kembali falsafah daerah sebagai nilai yang bekerja dalam praktik pemerintahan. Bukan sekadar semboyan, melainkan prinsip yang membimbing keputusan, perilaku, dan tanggung jawab para penyelenggara negara. (red)



