Gorontalo, mimoza.tv – Setiap tanggal 2 Februari diperingati sebagai Hari Lahan Basah sedunia. Perayaan ini secara resmi dimulai sejak tahun 1997, menandai diadopsinya suatu perjanjian internasional untuk perlindungan lahan basah, yang diadakan pada tanggal 2 Februari 1971 di kota Ramsar, Iran. Perjanjian internasional tersebut kemudian dikenali sebagai Konvensi Ramsar. Indonesia sendiri telah meratifikasi Konvensi Ramsar sejak tahun 1991 melalui Keputusan Presiden RI No. 48 tahun 1991.
Perayaan hari lahan basah sedunia adalah upaya terus menerus menumbuhkan kesadartahuan mengenai peran penting lahan basah bagi manusia dan planet bumi. Untuk tahun 2018, perayaan hari lahan basah sedunia mengambil tema “Wetlands for a sustainable urban future” atau lahan basah untuk masa depan perkotaan yang berkelanjutan. Tema tersebut ditetapkan dengan pertimbangan bahwa hampir separuh dari jumlah penduduk dunia saat ini hidup di perkotaan.
Jumlah tersebut diperkirakan akan terus meningkat, baik karena semakin bertambahnya wilayah pinggiran yang berubah menjadi perkotaan, atau juga karena semakin meningkatnya penduduk wilayah pinggiran yang pindah ke perkotaan untuk mencari kehidupan yang lebih baik.
Dengan demikian, ada kebutuhan yang semakin mendesak bahwa perkotaan kemudian tidak hanya harus menyediakan kebutuhan dasar untuk kehidupan penduduknya, seperti sandang, pangan dan papan; tetapi juga perkembangan kebutuhan lain, seperti keamanan, resiliensi atau ketahanan dan tempat tinggal yang ramah lingkungan.
Lahan basah harus dipertahankan dan dimanfaatkan secara bijaksana, karena dapat memberikan berbagai manfaat ekonomi, sosial, maupun budaya.
“Beberapa kota besar di Indonesia sedang mengalami permasalahan yang diakibatkan oleh semakin menyusutnya fungsi alami lahan basah. Salah satu yang semakin banyak dirasakan adalah adanya banjir rob yang semakin sering terjadi, serta menurunnya permukaan tanah (subsiden), salah satunya akibat pemanfaatan air tanah yang berlebihan,” kata Yus Rusila Noor, Head of Programme Wetlands International Indonesia, Jumat (2/2/2018).
Beberapa kota di Pantai Utara Jawa telah mengalami kehilangan mangrove akibat dikonversi menjadi lahan budidaya perairan di wilayah pesisirnya, yang kemudian memacu terjadinya abrasi pesisir. Pemerintah Indonesia sudah bekerja keras mengatasi bencana ekologis akibat menyusutnya fungsi lahan basah pesisir.
Apri Susanto, pimpinan kegiatan konsorsium Building with Nature menjelaskan bahwa saat ini sedang dilakukan pemasangan bangunan pemerangkap lumpur, yang memanfaatkan mekanisme alam di wilayah pesisir kabupaten Demak.
Kegiatan yang antara lain didukung oleh Kementerian Kelautan dan Perikanan serta Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat tersebut, bertujuan untuk menciptakan kondisi pesisir yang memadai untuk kemudian dapat ditumbuhi oleh tegakan mangrove secara alami.
Dalam jangka panjang, kegiatan yang dipadukan dengan pengembangan ekonomi masyarakat tersebut diharapkan dapat mengembalikan fungsi alami mangrove dalam melindungi pesisir, sekaligus meningkatkan resiliensi masyarakat.
Beberapa kota di dunia berhasil menerapkan komitmennya untuk memanfaatkan lahan basah perkotaan secara bijaksana, dan dapat menjadi contoh untuk kota lainnya. Kota- yang berhasil melaksanakan konsep tersebut akan diberikan penghargaan berupa Akreditasi Kota Lahan Basah (Wetland City Accreditation) oleh Konvensi Ramsar.
Penghargaan akan disampaikan pada saat dilangsungkannya pertemuan Conference of Parties ke-13 di Dubai, Oktober 2018. (rls)