Gorontalo, mimoza.tv – Dalam kurun waktu bulan Juni hingga awal bulan Agustus 2020, tercatat sudah delapan kali terjadi banjir di Gorontalo.
Kepala Balai Pengelolaan Daerah Aliran Sungai dan Hutan Lindung (BPDAS-HL) Bone Bolango, Provinsi Gorontalo, M Tahir dalam keterangannya saat ditemui wartawan ini mengungkapkan, salah satu faktor penyumbang terjadinya banjir adalah anomali curah hujan yang cukup tinggi di wilayah Gorontalo, yang telah melampau ambang batas, dimana seharusnya 100 milimeter per jam, ternyata mencapai angka sekitar 400 milimeter per jam.

“Selain curah hujan yang tinggi, di luar kawasan Taman Nasional Bogani Nani Wartabone, seperti hutan lindung, hutan industri, itu sudah diolah oleh masyarakat dengan penanaman jagung kurang lebih tingkat kemiringan 30 persen, tanpa memperhatikan kaidah-kaidah konservasi. Ini yang jadi salah satu penyumbang terjadinya banjir,” ucap Tahir.
Dirinya mengaku telah menemui Gubernur Gorontalo, dan menyampaikan perihal tersebut.
“Kemarin kita sudah menemui pak gubernur dan menyampaikan usulan kepada beliau, tolong kita di dukung dengan regulasi atau peraturan daerah, mengenai penanaman jagung diatas kemiringan 15 persen yang tanpa memperhatikan kaidah-kaidah konservasi. Dan beliau menyanggupi dan beliau segera menyurati para bupati untuk dilaksanakan,” ucap Tahir.
Memang di satu sisi kata dia, jagung ini menjadi salah satu komoditas andalan di Gorontalo, apalagi belum lama ini Gorontalo sudah mengekspor tanaman penghasil karbohidrat tersebut ke negara Filipina.
“Solusi yang kami tawarkan adalah, alangkah baiknya teman-teman kita para petani jagung itu menerapkan sistim agroforestri. Jadi selain kita menanam jagung, kita juga menanam tanaman jangka panjang seperti buah-buahan. Perlu rekan-rekan ketahui, komposisi rehabilitasi hutan dan lahan (RHL) yang ada di Gorontalo ini kita balik. 70 persen buah-buahan, 30 persen kayu-kayuan,” ujar Tahir.
Namun saja yang terjadi, masyarakat atau petani menginginkan yang instan, yang hanya dalam jangka pendek saja sudah bisa menghasilkan. Padahal kata dia, tanaman yang pihaknya tawarkan tersebut cukup menjanjikan.
Untuk petani yang menggarap lahan yang sebagian besar masuk kawasan hutan, pihaknya juga mengaku sudah menawarkan solusi. Setelah buah dan pepohonan tersebut tumbuh dengan baik, akan diuruskan perhutanan sosial.
“Perhutanan sosial itu namanya hak kelolah oleh masyarakat. Mereka bisa mengelola selama 35 tahun dan bisa di perpanjang namun tidak bisa diperjualbelikan. Silahkan dikelolah tanpa merubah fungsi. Ini yang sudah kami janjikan ke masyarakat,” jelas dia.
Selain ke dua faktor tersebut, aktifitas penambangan juga ikut menyumbang terjadinya banjir di Gorontalo. Kata dia, tidak bisa dipungkiri bahwah di daerah hulu Daerah Aliran Sungai (DAS) telah terjadi kerusakan. Dari 520 DAS yang ada, tinggal 27 yang kondisinya agak bagus. Buktinya kata Tahir, ketika musim hujan dan banjir airnya sudah keruh. Berarti sudah terjadi erosi.
Untuk pertambangan yang menjadi penyumbang terjadinya banjir di Gorontalo kata dia, konsesinya bukan menjadi kewenangan BPDAS – HL.(luk)