Gorontalo, mimoza.tv – Anggota DPRD Provinsi Gorontalo, Wahyudin Moridu, akhirnya buka suara di hadapan Badan Kehormatan (BK) DPRD terkait video viral dirinya yang melontarkan kalimat “Rampok Uang Negara”. Dalam rapat klarifikasi, Jumat (19/9/2025), Wahyudin mengakui ucapan itu keluar dari mulutnya dalam kondisi sedang mabuk.
Ketua BK DPRD Provinsi Gorontalo, Fikram Salilama, menyampaikan, Wahyudin secara langsung membenarkan bahwa dirinyalah yang berbicara dalam video itu.
“Yang bersangkutan mengakui, itu memang dirinya. Hanya saja ia dalam kondisi mabuk ketika video tersebut direkam,” ujar Fikram dalam konferensi pers bersama Wakil Ketua BK Umar Karim dan anggota BK Ekwan Ahmad.
Fikram menambahkan, biasanya hasil rapat BK bersifat internal. Namun kali ini diputuskan terbuka ke publik atas persetujuan Wahyudin. BK juga mengungkapkan, video itu sebenarnya direkam sejak Juni lalu, tetapi baru viral beberapa hari terakhir.
“Kami menargetkan pekan depan sudah ada keputusan final agar publik mendapat jawaban pasti,” jelasnya.
Rekam Jejak Lama
Pengakuan Wahyudin soal “mabuk” semakin memantik sorotan publik, sebab ini bukan pertama kalinya ia tersandung persoalan serupa. Saat pandemi Covid-19 lalu, Wahyudin pernah ditangkap aparat di Jakarta dalam kasus narkoba. Fakta ini membuat publik kian meragukan integritas dan etika seorang wakil rakyat.
Pejabat Publik dan Krisis Etika
Seorang anggota DPRD bukan sekadar jabatan politik, melainkan figur yang membawa amanah rakyat. Pengakuan “sedang mabuk” tidak bisa menjadi alasan pemaaf, justru menambah catatan buruk bagi dunia politik lokal.
Apalagi Gorontalo memiliki falsafah hidup: adab bersendikan sara, dan sara bersendikan Kitabullah. Dalam bingkai nilai itu, ucapan serampangan yang keluar dari seorang pejabat dalam keadaan mabuk jelas bertolak belakang dengan prinsip adab dan kehormatan yang seharusnya dijaga.
Catatan Redaksi
Kasus Wahyudin Moridu bukan hanya soal pribadi. Ini soal wibawa DPRD di mata rakyat. Ketika seorang wakil rakyat dengan enteng mengatakan “rampok uang negara”, lalu berdalih sedang mabuk, publik berhak kecewa. Kepercayaan bukan hanya diukur dari ucapan manis di panggung politik, tetapi dari sikap, adab, dan rekam jejak yang nyata.
Penulis: Lukman.