Oleh : Dr. Funco Tanipu., ST., M.A (Dosen Jurusan Sosiologi, Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Gorontalo/Founder The Gorontalo Institute)
Pada 2 Desember 2025, PDI Perjuangan Gorontalo memasuki fase penting dalam proses institusionalisasinya melalui pelaksanaan Konferensi Daerah (Konferda) dan Konferensi Cabang (Konfercab) yang menghasilkan konfigurasi kepemimpinan baru. Struktur provinsi kini dipimpin oleh Laode Haimudin sebagai Ketua, Venny Anwar sebagai Sekretaris, dan Dedy Hamzah sebagai Bendahara. Di tingkat kabupaten/kota, kepemimpinan baru terbentuk melalui figur Deasy Datau (Gorontalo Utara), Yolan Polontalo (Kota Gorontalo), Frait Danial (Boalemo), Muhlis Lakodi (Bone Bolango), Darwin Situngkir (Pohuwato), dan Tonny Junus (Kabupaten Gorontalo). Pada saat yang sama, di tingkat pusat, Ahmad Basarah selaku Ketua DPP PDI Perjuangan menegaskan target politik yang ambisius: 30 kursi DPRD kabupaten/kota, 12 kursi DPRD Provinsi, dan 1 kursi DPR RI dari Gorontalo, sehingga konfigurasi baru di daerah ini harus dibaca sebagai instrumen strategis untuk mencapai sasaran nasional tersebut.
Perubahan formasi ini merepresentasikan dinamika rekonfigurasi elite politik dalam tubuh PDI Perjuangan Gorontalo, sekaligus menjadi indikator upaya partai untuk memperkuat konsolidasi organisasi dan memperbaiki performa elektoral pasca-Pemilu 2024. Dengan menempatkan kader-kader yang memiliki kedekatan kultural dan jaringan sosial di masing-masing wilayah, PDI Perjuangan berupaya melakukan reorientasi basis di daerah-daerah yang mengalami penurunan suara, khususnya Pohuwato, Kabupaten Gorontalo, dan Bone Bolango. Konstelasi baru ini penting dibaca sebagai strategi adaptasi partai terhadap perubahan perilaku pemilih dan dinamika sosial-politik Gorontalo kontemporer, sekaligus sebagai bab terbaru dari sejarah nasionalisme lokal yang telah berusia hampir satu abad.
Kronik Sejarah: Dari Jejak Pahlawan ke Peta Elektoral
Di Gorontalo, membaca PDI Perjuangan tidak bisa dibaca hanya dari tahun sejak partai ini didirikan. Membaca PDI P harus utuh dalam kerangka evolusi partai ini lahir sejak Partai Nasionalis Indonesia (PNI) hadir sejak 1928 melalui peran Nani Wartabone. Bagi Gorontalo, Nani tidak hanya dikenal sebagai penggerak PNI, tetapi juga sebagai simbol nasionalisme lokal yang kemudian diakui negara sebagai pahlawan nasional. Namun, ketika tradisi nasionalisme ini diuji dalam arena elektoral modern, terutama sejak Pemilu 1955, muncul paradoks yang menarik: garis nasionalisme yang berakar pada PNI—dan kemudian diteruskan oleh PDI dan PDI Perjuangan—tidak pernah menjadi arus utama politik Gorontalo pada masa awal, dan baru menemukan bentuk paling kuatnya justru pada era PDI Perjuangan.
Tulisan ini berupaya membaca secara historis dan teoretik evolusi garis PNI → PDI → PDI Perjuangan di Gorontalo, dengan menempatkan peran historis Nani Wartabone, konfigurasi elite lokal, serta data elektoral dua dekade terakhir sebagai basis analisis. Di satu sisi, tulisan ini memotret naik-turunnya suara PDI Perjuangan dalam Pemilu 2004–2024 di tingkat DPR RI, DPRD Provinsi, dan DPRD kabupaten/kota. Di sisi lain, tulisan ini mengaitkan trajektori tersebut dengan transformasi struktur sosial, pola patronase, serta perubahan bentuk nasionalisme lokal dari era Nani Wartabone hingga figur-figur PDI Perjuangan di era kontemporer. Dengan kerangka ini, kita dapat melihat bahwa PDI Perjuangan di Gorontalo hari ini bukanlah anomali yang lahir tiba-tiba, melainkan hasil dari proses panjang di mana nasionalisme harus bernegosiasi dengan agama, adat, patronase, dan ekonomi politik lokal.
Pemilu 1955 menjadi titik awal penting. Di Gorontalo, PNI memperoleh sekitar 12,45 persen suara, sementara Masyumi, PSII, dan NU tampil dominan sebagai representasi politik Islam. PNI menempati posisi ketiga: bukan kekuatan utama, tetapi juga bukan kekuatan yang tak berarti. Basis sosial PNI relatif jelas: pegawai negeri, guru, elite urban awal, dan sebagian kecil kelas menengah embrio yang terpapar diskursus nasionalisme sekuler. Di level DPRD, data periode 1960-an menunjukkan PNI konsisten berada di kisaran 4–5 kursi di DPRDGR/DPRD, menegaskan posisi sebagai kekuatan minoritas yang stabil, bukan hegemonik (Madjowa, 2015). Dengan kata lain, sejak awal, nasionalisme di Gorontalo bergerak sebagai arus penting yang harus beradaptasi dengan dominasi jaringan Islam dan kearifan lokal.
Memasuki era Orde Baru, terbentuklah PDI sebagai hasil fusi PNI, Parkindo, Partai Katolik, IPKI, dan Murba—menjadi kendaraan formal bagi garis nasionalis non-Golkar. Namun, konfigurasi ini rapuh: basis sosial yang heterogen, tekanan politik negara, dan dominasi Golkar menjadikan PDI hanya bertahan sebagai kekuatan pinggiran. Di Gorontalo, PDI umumnya hanya memperoleh 1–3 kursi di DPRD kabupaten/kota dalam Pemilu 1977, 1982, 1987, dan 1992. Perpecahan PDI pada 1990-an, dengan munculnya kubu Megawati, melahirkan PDI Perjuangan. Di Gorontalo, pada awal 2000-an, PDI Perjuangan belum langsung menguasai ruang politik. Namun garis kontinuitas historis tampak jelas: basis sosial yang dulu berada di belakang PNI dan PDI—pegawai negeri, guru, urban–nasionalis, sebagian kelompok aktivis—pelan-pelan bermigrasi ke tubuh PDI Perjuangan. Secara elektoral, puncak kontinuitas ini terlihat di Pemilu 2014, 2019, dan 2024, ketika PDI Perjuangan mulai menancapkan diri sebagai salah satu pilar utama politik Gorontalo, terutama di DPRD Provinsi dan beberapa kabupaten/kota.
Dengan demikian, dari sudut pandang sejarah elektoral, garis PNI–PDI–PDI Perjuangan di Gorontalo tidak pernah benar-benar terputus. Yang berubah bukan sekadar nama partai, tetapi cara garis nasionalis ini bernegosiasi dengan struktur sosial dan politik lokal, dan hari ini, bagaimana partai menjawab target politik baru yang dicanangkan DPP: 30 kursi DPRD kabupaten/kota, 12 kursi DPRD Provinsi, dan 1 kursi DPR RI.
Dinamika Elektoral 2004–2024
Pada era reformasi, data Pemilu 2004–2024 memperlihatkan dengan cukup jelas bahwa PDI Perjuangan mengalami penguatan signifikan di Gorontalo, meskipun dengan capaian berbeda di tiap tingkat. Di tingkat DPR RI, PDI Perjuangan memulai dengan 29.204 suara pada 2004, turun ke 16.553 suara pada 2009, lalu melonjak ke 40.606 suara pada 2014, sedikit terkoreksi menjadi 37.423 suara pada 2019, dan mencapai rekor tertinggi 46.225 suara pada 2024.

Trajektori ini menunjukkan pola “jatuh–bangun–naik” yang berujung pada penguatan jangka panjang. Namun, meski suara naik hampir tiga kali lipat dibanding 2009, PDI Perjuangan belum berhasil mengonversi suara ini menjadi satu kursi DPR RI dari dapil Gorontalo. Hal ini menandakan bahwa kekuatan PDI-P masih terfragmentasi secara geografis dan belum teragregasi di bawah satu figur provinsial yang mampu meraup suara lintas kabupaten.
Berbeda dengan DPR RI, di DPRD Provinsi Gorontalo PDI Perjuangan mengalami konsolidasi yang jauh lebih jelas. Dari 3 kursi pada 2004 dan 2009, partai ini melonjak menjadi 6 kursi pada 2014 dan kemudian stabil pada 7 kursi pada 2019 dan 2024. Secara perolehan suara pada level provinsi, PDI Perjuangan meraih 90.847 suara pada 2019 dan meningkat menjadi 104.739 suara pada 2024, naik 13.892 suara dalam satu siklus. Peningkatan ini memberikan gambaran bahwa PDI-P telah menjadi salah satu kekuatan yang terinstitusionalisasi di tingkat provinsi, dengan basis elektoral yang bukan hanya bertahan, tetapi meluas.

Pada level DPRD kabupaten/kota, peta kekuatan PDI-P menjadi lebih bernuansa. Pada Pemilu 2014, PDI-P meraih 3 kursi di Kota Gorontalo, 6 di Kabupaten Gorontalo, 4 di Boalemo, 3 di Pohuwato, 3 di Gorontalo Utara, dan 3 di Bone Bolango, total 22 kursi. Pada 2019, peta ini bergeser menjadi 3 di Kota Gorontalo, 4 di Kabupaten Gorontalo, 7 di Boalemo, 3 di Pohuwato, 6 di Gorontalo Utara, dan 2 di Bone Bolango (total 25 kursi), dan pada 2024 menjadi 4 di Kota Gorontalo, 4 di Kabupaten Gorontalo, 5 di Boalemo, 1 di Pohuwato, 6 di Gorontalo Utara, dan 0 kursi di Bone Bolango (total 20 kursi). Data ini menunjukkan pola: Boalemo dan Gorontalo Utara mengkristal sebagai basis inti PDI-P, Kabupaten Gorontalo dan Kota Gorontalo sebagai basis penyangga yang cukup stabil, sementara Pohuwato dan terutama Bone Bolango menjadi zona rentan, bahkan runtuh pada 2024. Dari sini dapat disimpulkan: PDI Perjuangan di Gorontalo kuat sebagai kekuatan provinsi dan kabupaten tertentu, tetapi masih tertahan di pintu DPR RI. Kekuatan ini sangat teritorial dan sangat bergantung pada konfigurasi elite lokal, sehingga target 30–12–1 yang dicanangkan Ahmad Basarah mensyaratkan kerja penguatan yang lebih terukur di semua tingkat.

Transformasi Patron Genealogis ke Patronase Kontemporer
Jika membaca kronik diatas, perbedaan utama antara PNI/PDI masa lalu dan PDI Perjuangan masa kini di Gorontalo terletak pada cara partai mengelola elite dan patronase. Pada era PNI, PDI hingga PDI Perjuangan generasi awal, partai ini cenderung bersumbu pada symbol Nani Wartabone sebagai pejuang nasional dengan narasi nasionalisme yang kuat, hal itu dilanjutkan olehgenerasi seperti Aroman Wartabone, Fauzi Wartabone, Kris Wartabone, dan keluarga besar Wartabone di Suwawa (Bone Bolango), yang kemudian menjadi referensi simbolik dan salah satu simpul organisatoris nasionalisme di tingkat lokal. Mereka menghubungkan ide nasionalisme dengan masyarakat setempat melalui jaringan kekerabatan, reputasi moral, dan kedudukan sosial. Namun seiring perubahan zaman dan semakin menguatnya pola politik klientelistis, basis genealogis semacam ini menghadapi tekanan dari kebutuhan akan patronase yang lebih operasional, terutama setelah 1999, ketika kompetisi elektoral menjadi semakin terbuka dan pragmatis.
Di sinilah PDI Perjuangan menunjukkan transformasi kelembagaan model baru. Di Kabupaten Gorontalo, figur seperti Tonny Junus (Wakil Bupati 2009–2014, kini kembali sebagai Wakil Bupati) menjadi katalis yang membawa PDI-P masuk ke dalam jaringan birokrasi dan pemerintahan desa. Pengaruh ini kemudian diteruskan oleh Venny Anwar, istrinya, yang dua periode (2019 dan 2024) duduk di DPRD Provinsi. Di Boalemo, PDI-P memperoleh momentum besar ketika Darwis Moridu menjadi kader PDI Perjuangan (sebelum pindah ke Nasdem) sekaligus menjabat sebagai Bupati periode 2017–2020. Di bawah kepemimpinannya, PDI-P meraih tujuh kursi DPRD Boalemo pada 2019, dan meskipun terjadi perubahan patron pasca-Darwis, PDI Perjuangan tetap mempertahankan lima kursi pada 2024, dengan dukungan figur-figur seperti Ekaputra Noho (dua periode Ketua DPRD), Harijanto Mamangkey, Rensi Makuta, dan Yeni Manoppo.
Di Gorontalo Utara, kombinasi Thariq Modanggu sebagai kader PDI Perjuangan (masa keanggotaan 2018–2022, sebelum pindah ke Golkar) yang juga menjabat sebagai Wakil Bupati, berpasangan dengan Djafar Ismail sehingga mengantarkan PDI Perjuangan menjadi pemenang Pemilu 2019 dengan Djafar sebagai Ketua DPRD. Pada kurun waktu yang sama, Ance Robot sebagai pengusaha sekaligus dua periode anggota DPRD Provinsi, serta Deasy Datau dan Sian Woloks sebagai aleg dua periode di DPRD kabupaten, menjadikan daerah ini benteng elektoral PDI-P. Di Kota Gorontalo, figur seperti Ariston Tilameo (empat periode DPRD Kota) Yolan Polontalo (dua periode) dan Darmawan Duming (tiga periode) menunjukkan bagaimana PDI-P membangun kontinuitas di ruang urban, kemudian diperluas dan diperkuat oleh figur pengusaha seperti Alifudin Jamal.
Di tingkat provinsi, elite seperti Dedy Hamzah (mantan Presiden BEM UNG, dua periode DPRD Provinsi), Suyuti (pengusaha dan peraih suara tertinggi DPRD Provinsi 2024), Hamzah Muslimin (pengusaha), Venny Anwar (dua periode DPRD Provinsi dan istri Wakil Bupati Gorontalo Tonny Junus), Espin Tuli (dua periode DPRD Provinsi), Ance Robot, dan Laode Haimudin (lima periode DPRD Provinsi dari dapil Boalemo–Pohuwato dan mantan Wakil Bupati Boalemo) memperlihatkan keberagaman basis sosial PDI Perjuangan: dari aktivis, pengusaha, birokrat, hingga politisi senior. Jika dilihat dari perspektif teori patronase dan klientelisme, PDI Perjuangan di Gorontalo melampaui apa yang tidak mampu dimaksimalkan oleh PNI dan PDI yakni menginstitusionalisasikan patronase melalui partai, bukan semata menggantungkan diri pada karisma kultural atau genealogis. Di sini, tampak pergeseran penting: dari “nasionalisme genealogis” menuju “nasionalisme patronase” yang beroperasi melalui kapasitas elite menghadirkan manfaat konkret bagi pemilih.
Pertanyaan yang tidak bisa dihindari adalah: jika keluarga Wartabone merupakan pionir nasionalisme dan pernah menjadi salah satu basis penting PNI–PDI–PDI Perjuangan di Bone Bolango (basis PNI terkuat saat itu) mengapa mereka kemudian tidak lagi menempati posisi sentral dalam peta politik kontemporer, bahkan PDI Perjuangan justru kehilangan seluruh kursinya di Bone Bolango pada 2024?
Jawabannya terletak pada ketidaksejajaran antara kapital simbolik dan tuntutan kapital politik kontemporer. Keluarga Wartabone memiliki kapital simbolik yang kuat: warisan pahlawan nasional, peran historis dalam pergerakan, dan posisi sosial yang dihormati. Namun, kapital ini tidak sepenuhnya terkonversi menjadi kapital birokratis (jabatan eksekutif atau pos strategis dalam pemerintahan daerah), kapital ekonomi (posisi sebagai patron ekonomi lokal), atau kapital elektoral (regenerasi politisi keluarga yang secara konsisten tampil sebagai kandidat kuat di DPRD). Peran mereka bergeser dari pusat ke lebih menyebar, sementara medan politik lokal menuntut aktor-aktor yang mampu mengelola jaringan patronase sehari-hari secara intensif.
Pada saat yang sama, struktur politik Bone Bolango berubah setelah pemekaran 2003. Pusat gravitasi kekuasaan bergeser, persaingan meningkat, dan elite-elite baru muncul dari berbagai kecamatan di luar Suwawa. Dalam situasi ini, garis genealogis yang dulu menjadi salah satu pilar referensi politik tidak lagi secara otomatis menjamin dominasi elektoral. PDI Perjuangan, di tingkat nasional dan provinsi, kemudian lebih banyak berinvestasi pada elite-elite baru yang memiliki kapasitas patronase aktif, selaras dengan pola politik lokal kontemporer. Hal ini menunjukkan bahwa otoritas genealogis (legitimasi berbasis keturunan pejuang) cenderung bergeser perannya ketika berhadapan dengan otoritas patronase modern (legitimasi berbasis kapasitas distribusi sumber daya dan pengelolaan jaringan).
Pelembagaan Partai, Patronase, dan Territorialisasi Dukungan
Dari sudut pandang pelembagaan partai (party institutionalization), PDI Perjuangan di Gorontalo menunjukkan pelembagaan yang cukup tinggi di tingkat provinsi dan beberapa kabupaten, tetapi belum sepenuhnya di tingkat nasional (DPR RI). Kestabilan kursi DPRD Provinsi di angka tujuh, peningkatan suara dari 90.847 menjadi 104.739, dan posisi dua periode sebagai Wakil Ketua DPRD Provinsi menunjukkan bahwa PDI-P telah menjadi salah satu poros kekuasaan yang terstruktur. Namun di sisi lain, ketergantungan partai pada figur-figur lokal tertentu, serta kegagalan mengonversi kekuatan tersebut menjadi satu kursi DPR RI, menunjukkan pelembagaan yang belum tuntas di level representasi nasional. Di titik ini, target 30 kursi DPRD kabupaten/kota, 12 kursi DPRD Provinsi, dan 1 kursi DPR RI yang disampaikan Ahmad Basarah menjadi tolok ukur seberapa jauh proses pelembagaan ini dapat ditingkatkan.
Dalam kerangka patronase dan klientelisme, PDI Perjuangan di Gorontalo merepresentasikan model di mana partai modern bekerja melalui jaringan patron tradisional. Figur-figur kontemporer yang disebutkan di atas menunjukkan bahwa mobilisasi suara berlangsung bukan lagi terutama melalui pendekatan ideologis, melainkan lewat jaringan bantuan, proyek, akses birokrasi, dan kedekatan sosial. Hal ini berbeda dengan era PNI/PDI, patronase kontemporer kini berada dalam kerangka institusional partai yang lebih formal: mekanisme rekrutmen caleg, struktur berlapis dari DPD hingga PAC, dan aturan internal yang relatif mapan.
Jika dibaca dari perspektif antropologi politik bahwa pergeseran dari garis keluarga pejuang seperti keluarga Wartabone ke konfigurasi elite baru PDI Perjuangan menunjukkan transformasi identitas nasionalisme di Gorontalo: dari yang semula berakar pada heroisme masa perang dan simbol kekerabatan, menjadi nasionalisme yang lebih pragmatis, yang diukur dari kemampuan partai dan elite menyediakan akses ke negara, ekonomi, dan layanan publik, sembari tetap menjaga kompatibilitas dengan identitas Islam dan adat lokal. Seca ringkas dapat dibaca bahwa PDI Perjuangan di Gorontalo bergerak dari nasionalisme simbolik ke nasionalisme terinstitusionalisasi, dengan patronase sebagai jembatan antara ide dan realitas sosial.
Antara Warisan dan Tantangan Masa Depan
Nasionalisme di Gorontalo tidak pernah berjalan di ruang hampa. Ia selalu dinegosiasikan dengan agama, adat, patronase, dan kepentingan ekonomi. PNI di era Nani Wartabone dan kemudian PDI menanamkan fondasi awal bahwa selalu ada “arus nasionalis” di tengah dominasi partai-partai Islam. PDI menjaga arus itu hidup di tengah tekanan Orde Baru. PDI Perjuangan kemudian memetik buahnya dengan cara yang berbeda: bukan lagi mengandalkan genealogis pejuang, tetapi dengan merangkul patron lokal, pengusaha, birokrat, aktivis, dan politisi multi-periode yang menautkan partai dengan kehidupan sehari-hari rakyat.
Pertanyaan yang tersisa bagi PDI Perjuangan hari ini bukan lagi “dari mana ia berasal”, tetapi “ke mana ia akan bergerak”. Apakah partai ini akan mampu mengonversi kekuatan provinsi dan kabupaten menjadi satu kursi DPR RI pertama dari Gorontalo? Apakah ia mampu merawat patronase tanpa terjebak pada oligarki lokal? Dan apakah ia sanggup merehabilitasi dan mengintegrasikan kembali warisan simbolik seperti garis keluarga pejuang ke dalam narasi politik masa depan sebagai sumber legitimasi moral yang lebih dalam?
Jawaban atas pertanyaan-pertanyaan itu akan menentukan apakah PDI Perjuangan di Gorontalo hanya akan dikenang sebagai partai yang kuat di daerah tetapi lemah di pusat, atau sebagai partai yang berhasil menjembatani sejarah nasionalisme lokal dengan tantangan demokrasi elektoral modern. Dalam konteks inilah, target 30 kursi DPRD kabupaten/kota, 12 kursi DPRD Provinsi, dan 1 kursi DPR RI yang ditegaskan Ahmad Basarah menjadi ujian konkret sejauh mana tradisi hampir satu abad itu (sejak dibentuk tahun 1928 oleh Nani Wartabone) mampu diwujudkan dalam angka-angka politik yang nyata.
Konfigurasi kepemimpinan baru yang lahir melalui Konferensi Daerah dan Konferensi Cabang PDI Perjuangan Gorontalo pada 2 Desember 2025 menjadi fondasi awal dari upaya rekonstruksi politik yang lebih serius menjelang Pemilu 2029. Dengan formasi ini yang menempatkan Laode Haimudin sebagai Ketua, Venny Anwar sebagai Sekretaris, dan Dedy Hamzah sebagai Bendahara, partai pada hakikatnya membangun sebuah koalisi elite yang memadukan tiga generasi kekuatan politik sekaligus: generasi birokrasi senior yang memiliki pengalaman panjang dalam pemerintahan daerah, generasi keluarga politik yang menguasai jejaring sosial tradisional dan patronase komunitas, serta generasi aktivis–profesional yang memahami dinamika politik modern, perilaku pemilih muda, dan kebutuhan repositioning partai di ruang publik kontemporer. Kehadiran figur-figur ketua cabang seperti Deasy Datau, Yolan Polontalo, Frait Danial, Muhlis Lakodi, Darwin Situngkir, dan Tonny Junus memperluas struktur kekuatan ini hingga ke basis-basis kabupaten/kota, ditantang untuk dapat mereformulasi satu kesatuan organisasi yang mampu menjawab kebutuhan partai untuk konsolidasi elektoral yang stabil.
Dengan demikian, strategi politik PDI Perjuangan Gorontalo mau tidak mau harus bertumpu pada konsolidasi elite yang menyeluruh, pemulihan basis rawan melalui rekonstruksi patronase, penguatan basis inti sebagai lumbung suara DPR RI, reposisi simbolik yang selaras dengan kultur lokal, dan penciptaan figur provinsial sebagai poros utama pemenangan. Jika kelima fondasi ini dijalankan secara disiplin, berbasis data, dan didukung kerja lapangan yang konsisten, maka PDI Perjuangan tidak sekadar mempertahankan posisinya sebagai kekuatan politik utama di Gorontalo, tetapi juga berpeluang menorehkan capaian historis yang selama dua dekade belum tercapai: kehadiran wakil rakyat dari PDI Perjuangan Gorontalo di Senayan, sebagai puncak dari 97 tahun perjalanan nasionalisme yang dimulai oleh Nani Wartabone pada 1928 dan kini diteruskan dalam konteks baru demokrasi elektoral modern dengan target konkret 30–12–1 yang diletakkan di pundak pengurus periode 2025–2030.



