Gorontalo, mimoza.tv – Sidang kasus dugaan korupsi dana hibah KONI Kabupaten Gorontalo dengan terdakwa Ibrahim Papeo Hippy Alias Helmy yang digelar di Pengadilan negeri Tindak Pidana Korupsi (TIPIKOR) Gorontalo kembali dilanjutkan, dengan menghadirkan 6 orang saksi dari pihak Pemda Kabupaten Gorontalo, termasuk Bupati Nelson Pomalingo, Senin (7/11/2022).
Dalam sidang itu ke enam saksi dimintai keterangan soal mekanisme, mulai dari pembahasan sampai pencairan anggaran tersebut.
Ditemui usai persidangan Franky Uloli selaku kuasa hukum terdakwa menjelaskan, selama sidang berjalan pihaknya menggali keterangan dari para saksi, yang notabene adalah Tim Anggaran Pemerintah Daerah atau TAPD, tidak memegang dokumen.
“Yang coba kita korek keterangan di sidang tadi, inimasih di bagian hulu anggaran, artinya kita mulai dari kajian mekanisme pembahasan anggaran, khususnya hibah daerah. Disini kita menemukan fakta-fakta yang justru miris buat kami. Ternyata selama pembahasan di tingkatan, ternyata TAPD ini tidak memegang dokumen. Seharusnya itu di-fotocopy perbanyak dan dibagai ke semua TAPD sehingga mereka bisa memahami struktur anggaran ini,” tutur Franky.
Yang berikutnya kata dia, berdasarkan barang bukti yang diperlihatkan oleh JPU, maka yang diperlihatkan hanyalah surat permohonan pemcairan dana, tanpa proposal.
“Nah, ini justeru kabur mernurut kami. Karena seharusnya perkara ini kalau dari jaksanya dalam hal barang bukti itu sudah terang. Proposalnya apa, dan peruntukannya apa. Tapi tadi kami tidak melihat ada upaya untuk memberikan dokumen-dokumen yang terang, hingga kami bisa melihat apa yang didakwakan jaksa itu benar atau tidak. Jadi kita masih berputar-putar di hulu, belum ke hilirnya,” imbuhnya.
Di tanya soal apakah ada pihak lain yang turut bertanggungjawab setelah mendengarkan keterangan para saksi, Franky menjelaskan, hal tersebut akan dilihat dalam perkembangan sidang. Bila majelis hakim peka dan jeli, maka ada pengembangan lebih lanjut, khususnya ke TAPD itu sendir.
“Di TAPD itu sendiri, bayangkan untuk membahas anggaran segitu saja, dia harus mengeluarkan anggaran Rp. 135 juta. Ada honor ke bupati, ada ke Ketua TAPD, sampai ke tim=timnya yang lain. Fariatif, mulai dari yang Rp. 45 juta sampai yang Rp. 5 juta. Ini penting. Kok ssegitunya biayanya untuk membahas anggaran untuk rakyat. Apalagi ini diutamakan untuk pembangunan daerah. Kemaslahatan tidak bisa kita hitung dengan ukuran-ukuran honorarium kita yang lebih tinggi,” tegas Franky.
Kalau sudah menyatakan diri mengabdi untuk daerah dan masyarakat, maka kata Franky reward-nya tidak seperti itu.
“Punya gaji, tunjangan kinerja dan bahkan tunjangan jabatan, masa untuk bahas suatu mata anggaran harus ada anggarannya lagi. Tidak bagus. Ini harus jadi pembelajarn kedepan agar tidak ada lagi anggaran-anggaran yang bocor,” tutup Franky.
Pewarta : Lukman.