Oleh : Funco Tanipu
Pukul ribut itu apa? Biasa disingkat “puri”. Kalimat ini sering digunakan oleh masyarakat Gorontalo dan sebagian Sulawesi Utara. Puri adalah salah satu keterampilan komunikasi yang tujuannya untuk memperluas pergaulan.
Orang yang memiliki keterampilan ini biasanya cepat dan mudah bergaul. Dalam suatu pembicaraan, orang yang memiliki keterampilan ini biasanya memiliki informasi yang lebih atau ada juga yang punya skill tambahan yakni bisa melucu.
Puri biasanya digunakan oleh orang tertentu untuk memecah kebuntuan dalam diskusi, atau peserta dalam diskusi tersebut tidak saling kenal.
Walaupun kadang “ba lebe” tapi keterterimaan orang yang memiliki skill puri lebih tinggi dibanding orang yang “pambadiam” dalam suatu diskusi. Orang yang puri lebih cepat dikenal khalayak luas dan bisa lebih kental hubungan secara emosional. Namun, keterampilan ini akan negatif jika “asbun” atau asal bunyi, tanpa didasari fakta dan logika yang sesuai.
Orang puri biasa agak “panita” kalo di Gorontalo, panita itu artinya agak cerdas, lebih pintar. Dalam artian cerdas dan pintar bergaul. Pokoknya bisa meramaikan perbincangan, topik apapun itu. Sederhananya, “depe maso-maso” bagus, adaptif. Tapi bukan “osam-osam” yang artinya sebaliknya.
Tulisan pendek diatas sebenarnya hanya pengantar dalam memasuki Pemilu 2024.
Pada Pemilu nanti, pemilih itu bukan obyek yang statis, bukan robot. Pemilih adalah obyek dinamis, bahkan mestinya jadi subyek. Karena bukan obyek statis, maka para caleg mestinya bisa merajut komunikasi interpersonal yang lebih maksimal.
Tentu tidak semua caleg punya “nama” atau dikenal luas. Ada yang skala pergaulannya terbatas atau hanya pada lingkungan tertentu. Demikian pula, tidak semua caleg memiliki kapasitas dan kapabilitas memadai untuk duduk di parlemen, hingga ada caleg yang harus diakui punya modal finansial terbatas, dan “modal ludah” (kasarnya seperti itu) untuk maju Pemilu nanti.
Keterampilan puri yang saya sebutkan diatas sesuai dengan “modal ludah” tadi. Sebab, setiap caleg harus dan mampu menambah jumlah pemilih untuk dirinya, misalnya untuk maju ke DPRD tingkat Kabupaten/Kota, harus minimal dapat 1500 – 3000 suara, itu jika akumulasinya dapat satu kursi. Begitu pula untuk DPRD Provinsi, minimal harus 3000 pemilih.
Nah untuk mendapatkan jumlah itu, seorang caleg harusnya mendapat perhatian atau diperhatikan sebagai syarat awal. Syarat perhatian atau diperhatikan itu biasanya dalam konteks Gorontalo minimal ada yang memperkenalkan, apakah lewat jalur keluarga (Ngala’a), organisasi, pertemanan atau jaringan apapun. Bagi pemilih, caleg yang diperkenalkan harus bisa berkomunikasi dengan terampil. Pemilih tidak suka caleg yang “bondonga’-bondonga’o (duduk, diam, bisu/tanpa suara). Caleg yang interaktif yang banyak disukai pemilih.
Jika diperkenalkan melalui jaringan keluarga, minimal harus hapal garis keluarga apakah saudara, sepupu, ipar, keponakan, paman, tante, bapu, nene, wombu (cucu) hingga diluar itu dalam satu keluarga seperti motolilahu dan sebagainya. Dalam jaringan organisasi pun berlaku, masuk tahun berapa, siapa ketua dan pengurus saat itu, siapa saja anggota, hubungan dengan alumni dam sebagainya. Hal yang sama juga dengan pertemanan, semakin besar circle semakin bagus.
Artinya, setiap yang dikenalkan adalah potensi. Potensi inilah yang harus “digarap” melalui komunikasi interpesonal yang “tidak biasa” bukan normatif. Perlu upaya membangun hubungan yang emosional.
Dalam jaringan sosial, tidak boleh hanya sekedar kenal, tanpa ada ikatan yang kuat. Harus bisa menjalin komunikasi yang aktif, tidak bisa menunggu orang lain yang memperkuat itu.
Karenanya, salah satu cara untuk merawat komunikasi yang interaktif adalah keterampilan puri diatas. Memang terkesan “receh” tapi uang bukan segalanya, tidak semua bisa dibeli. Demikian pula soal kecerdasan intelektual, tidak semua pemilih suka dengan yang omongan visi misi setinggi langit. Banyak pemilih yang lebih suka dengan yang akan dipilihnya dengan keterampilan komunikasi humoris, apa adanya, “baku maso cirita” dan hal-hal yang sederhana.
Kaitannya dengan mutu demokrasi, memang tidak semua caleg yang terpilih diharapkan bisa merepresentasikan gagasan, ide dan aspirasi masyarakat, yang kemudian bisa mengolahnya ke dalam dokumen perencanaan hingga diimpelemntasikan secara operasional sesuai standar tata kelola pemerintahan yang baik, sampai pada pengawasan berkala secara maksimal.
Pemilih sering memilih atau minimal tertarik dengan caleg yang memiliki ikatan emosional, yang dibangun melalui komunikasi intens dan interaktif. Pemilih suka dengan yang bisa dihubungi kapan saja, rajin balas pesan WhatsApp, tidak ganti nomor saat terpilih. Pemilih lebih nyaman dengan yang mewakili dirinya hadir saat takziah, hundingo (aqiqah), tuna dan beati (sunat dan beat), aruwa dan salawati (doa arwah dan shalawat), pernikahan, hingga kematian. Bagi caleg yang minimal keuangannya, kehadiran sangat perlu, lalu saat hadir diskusi dan ngobrol dengan santai bahkan bisa meramaikan suasana. Sesederhana itu biasanya keinginan pemilih.
Jangan menganggap bahwa harus pake duit semua, karena kaidah dasar ilmu komunikasi Gorontalo itu adalah “opiyohe loloiya, penu ja to doyiya” (komunikasi yang baik, biar tidak pakai uang). Sehingga keterampilan komunikasi (puri dalam konteks positif) adalah dasar sosio-antropologis keterterimaan caleg di masyarakat.
Pertanyaannya (bagi caleg), sudah berapakah pemilih yang anda pastikan tertarik, suka dan peduli serta akan memilih anda nanti? Bagaimana pola komunikasi anda selama ini? Mengandalkan “kuti-kuti” saja, atau mengandalkan tim sukses semata, atau seprrti apa?
Bagi pemilih, apakah yang akan anda pilih nanti yang hanya datang, kase “kuti-kuti”, pulang dan kembali saat pemilu nanti? Adakah caleg yang memiliki hubungan emosional dengan anda, yang dibangun berdasarkan komunikasi intens dan interaktif? Ataukah seperti apa.
Jawabannya silahkan anda pikirkan, masih ada waktu dan kesempatan untuk memperbaiki dan mengubahnya.