Oleh: Funco Tanipu (Kandidat Doktor). Sosiolog UNG
Gorontalo, mimoza.tv – Saya termasuk salah satu yang jarang bahkan tidak pernah melakukan kritik terbuka atas tulisan orang lain.
Sebab, jika masih bisa saya hubungi melalui “japri”, itu duluan yang saya lakukan. Apalagi kalau sampai masuk ke ranah pribadi orang yang kita “hajar”. Tidak elok menurut saya.
Tapi untuk tulisan yang satu ini, tulisan Katamsi Ginano yang berjudul “PSBB HULODU”, membuat saya cukup terkejut dan tersinggung sebagai orang Gorontalo.
Kritik terkait tulisan ini harus saya sampaikan ke publik sebagai upaya meluruskan fakta dan data yang keliru dari tulisan KG.
Dalam tulisannya ini, terlihat Katamsi menulis soal Gorontalo dengan asal-asalan, tanpa data, tanpa riset yang mendalam. Saya tidak tahu apa motifnya menulis sampai hal-hal privat dia ingin suguhkan tanpa tahu fakta sebenarnya.
Sebagai orang Gorontalo, saya tersinggung dengan tuduhannya, walaupun dia berusaha membantah tapi mengarahkan pembaca untuk berimajinasi “plus-plus”.
“….Pangkal soalnya, setelah pemeriksaan terhadap salah seorang PDP, ditemukan kemungkinan yang bersangkutan tertular dari seorang terapis pijat (yang, maaf, kebetulan perempuan). Saya tidak cukup ‘’gatal’’ dan tergoda menggali-gali informasinya lebih jauh…”
Paragraf KG itu mengarahkan pembaca ke arah yang negatif, walaupun dia bantah. Tapi bantahannya itu bermaksud memancing.
“….Mengaku artinya mesti menjalani rapid test dan bisa jadi berlanjut ke swab test (Poly Chain Reaction/PCR) dan syukur-syukur hanya isolasi di rumah; plus potensi dihajar istri dengan dodutu—terutama kalau terapi pijat itu dilakukan sembunyi-sembunyi. …”
KG pikir kalau tukang pijat (ta mo mitila) itu seperti therapis di daerah lain. Seakan-akan ibu-ibu tukang pijat di Gorontalo juga melayani non therapy. Yang perlu KG ketahui, bantuan tukang pijat di Gorontalo diganti dengan maharu (mahar).
Pijat atau momitilo ini tidak atas panggilan atau seperti transaksi jual beli.
Di Gorontalo, tamo mitila itu harus toduwolo (diundang) bukan tiyangolo (panggil/panggilan).
Sehingga ketika usai dipijat, tamo mitila itu bukan dibayar tapi wohiyala maharu (diserahkan mahar). Kenapa mahar? Karena angkanya tidak ada standar, atau tonulala (terserah pada keikhlasan).
Perlakuan istimewa di Gorontalo terhadap tamo mitila karena profesi mereka ini “mooturungi” (telah atau dapat menolong).
KG tidak tahu kalau praktek memijat di Gorontalo berada di ruang keluarga atau di kamar yang bisa disaksikan keluarga atau orang-terdekat. Disini tak ada yang “sembunyi-sembunyi”, seperti yang KG istilahkan.
Dan dia perlu tahu bahwa tukang pijat di Gorontalo rata-rata sudah berusia lanjut, apalagi yang ibu-ibu, sebab mereka merangkap hulango (dukun beranak) dan sekaligus mohunema (dukun).
Dari tulisannya, terlihat jelas KG awam soal fakta sosio-historis soal pijat memijat di Gorontalo.
Yang saya heran, dia berani menggunakan kata-kata yang mem-framing pembaca. KG menulis dengan menyertakan kata-kata ; “maaf, kebetulan perempuan”, “saya tidak cukup gatal”, “tergoda menggali”, “potensi dihajar istri”, “dilakukan sembunui-sembunyi”.
Dia tidak tahu bahwa yang dia maksud itu adalah ibu yang sudah sepuh, yang tumpuan ekonominya pada keahlian itu. Sebagaimana tamo mitila di kampung-kampung lain di Gorontalo.
Saya heran, dengan data terbatas, dia berani mengeksplor itu. Pun dia juga minim data dengan ibu tukang pijat itu.
“..Pangkal soalnya, setelah pemeriksaan terhadap salah seorang PDP, ditemukan kemungkinan yang bersangkutan tertular dari seorang terapis pijat..
Terlihat disini dia tidak paham soal status dalam covid-19. Bagaimana ceritanya baru status PDP lalu sudah disebut tertular. Lebih parah lagi dia menyebut ibu tersebut sebagai orang yang menularkan.
KG tidak tahu bahwa fakta sebenarnya Ibu ini berinteraksi dengan pasien 05. Berinteraksi itu otomatis status ODP (Orang Dalam Pemantauan), karena faktanya Ibu ini baru di rapid test, dan hasilnya reaktif. Ibu ini tidak berstatus terkonfirmasi positif.
Bahkan KG menyebut “klaster pijat-memijat” dalam tulisannya seakan-akan bahwa telah terbentuk pola penyebaran baru yang bersumber dari ibu tersebut.
Sekali lagi, tanpa data, berani menjustifikasi keadaan yang membuat kerugian kepada keluarga dan tentunya Gorontalo secara keseluruhan. Kenapa Gorontalo, sebab dengan justifikasi kluster maka ini levelnya parah karena telah dianggap menyebarkan penyakit dan semua yang berinteraksi adalah yang terduga berpenyakit.
Bagi kita di Gorontalo, izin penerapan PSBB ini adalah “hadiah”, baik tapi tidak mengenakkan.
Tentu keadaan “new normal” tanpa ada pengalaman sebelumnya, kecuali judul “Pandemi Flu Spanyol 1918” yang jadi catatan sejarah. Itupun hanya sebatas judul yang kita ketahui.
Keadaan “new normal” ini membuat gagap bagi semua kalangan dalam tindakan, apalagi semua tindakan diharuskan dalam kecepatan yang tinggi, sehingga kekeliruan-kekeliruan dari kebijakan yang muncul bukan sebuah kebodohan, tapi kekhilafan karena Indonesia minim data dan pengalaman terkait ini.
Tulisan KG kali ini harus dia klarifikasi dan minta maaf pada keluarga, sebab ada tuduhan serius yang dia lakukan. Baik pada ibu tersebut dan keluarganya, termasuk ke seluruh orang di Gorontalo.Di kondisi pandemi yang melanda Indonesia, yang sungguh berat untuk semua, tulisan “PSBB HULODU” oleh KG menyadarkan kita bahwa siapa yang sebenarnya “hulodu”.