Di tengah derasnya arus digital, ada satu masalah yang kembali menampar kesadaran publik: plagiasi dan pencurian karya jurnalistik yang dibungkus rapi dengan istilah “konten reaction”. Seolah istilah itu menjadi tameng moral untuk mengambil, mengunggah, menikmati—tanpa izin, tanpa etika, tanpa malu.
Kasus terbaru yang menimpa seorang wartawan di Gorontalo menegaskan kemerosotan etika itu. Karyanya dipakai seorang konten kreator tanpa izin untuk kepentingan pribadi. Sudah diingatkan, sudah minta maaf, tapi unggahan tidak dihapus. Bahkan yang bersangkutan malah mengolok-olok melalui media sosial. Sikap semacam ini bukan hanya menciderai pribadi seorang jurnalis, tetapi merendahkan marwah profesi pers.
Kini kasus tersebut tengah berproses di kepolisian, mendapat dukungan sesama wartawan dan advokat. Ini bukan soal “baper” atau “sensitif”. Ini tentang penegakan batas etika dan hukum. Tentang pesan jelas kepada publik bahwa karya jurnalistik bukan barang liar yang boleh dipungut di pinggir jalan digital.
Fenomena semacam ini sangat mudah ditegur… kalau orang memahami jerih payah di balik satu karya jurnalistik, apapun bentuknya.
Redaksi mengingatkan kembali pengalaman kami sendiri: lima belas tahun lalu, saat diberi kesempatan memotret para penerjun Marinir yang melompat keluar dari perut pesawat. Orang mungkin sekadar melihat foto yang “biasa saja”. Tapi mereka tak tahu bahwa di balik satu frame itu ada dinginnya di ketinggian 10 ribu kaki, pinggang yang terikat, tubuh yang berdiri di pintu belakang pesawat, dan terpaan angin. Namun beberapa bulan kemudian, foto itu dicomot orang tanpa izin. Seolah tak ada harga diri dalam setiap risiko yang ditempuh.
Begitu pula pengalaman ketika meliput pergantian Pasukan Satgas Pamtas di Pulau Miangas, perbatasan Indonesia dan Philipina. Ombak setinggi 4–6 meter menggoyang kapal tanpa ampun. Sementara kamera harus tetap hidup, dokumentasi harus tetap lengkap, dan kepala harus tetap dingin. Kerja-kerja jurnalistik di batas negara bahkan sering kali dilakukan dengan taruhan keselamatan. Tetapi hasilnya? Tetap saja ada pihak yang mengambilnya sembarangan.
Dan siapa yang bisa lupa liputan jatuhnya helikopter di Gunung Dua Saudara, Bitung, 2011 silam. Mendaki gunung semalaman, tersesat dalam gelap, hanya berbekal senter dan tekad, dalam tubuh yang masih lemah karena baru empat hari menjalani puasa. Medan terjal tidak menyurutkan tugas untuk mendapatkan informasi dan dokumentasi. Namun kerja keras itu lagi-lagi diperlakukan seolah hanya “gambar gratisan” yang boleh dicomot seenaknya.
Inilah kenyataan pahit: ada pihak-pihak yang hanya suka hasilnya, tetapi tidak mau tahu prosesnya. Mereka mencuri legitimasi dari keringat orang lain, lalu menyebutnya “konten”.
Konten kreator bukan jurnalis.
Dan kalau menyebut diri kreator, maka jadilah kreator yang benar-benar kreatif.
Mengambil karya jurnalistik tanpa izin, lalu berdalih reaction, bukanlah kreativitas. Itu ketidakadaban digital. Itu perampasan hak moral. Itu tindakan yang dalam bahasa paling sederhana: pencurian.
Kebebasan digital tidak pernah berarti kebebasan merampas karya orang lain. Bila kreator ingin dihormati publik, hormatilah dulu karya yang bukan miliknya.



