Kamis, Oktober 30, 2025
  • Tentang Kami
  • Redaksi
  • Kontak
  • Pedoman Media Siber
  • Index
  • Disclaimer
Tech News, Magazine & Review WordPress Theme 2017
  • Kabar Daerah
    • Provinsi Gorontalo
    • Kota Gorontalo
    • Kabupaten Gorontalo
    • Bone Bolango
    • Boalemo
    • Pohuwato
    • Gorontalo Utara
  • Peristiwa
    • Nasional
    • Internasional
  • Cek Fakta
  • Ekonomi
  • Politik
    • Partai
  • Hukum & Kriminal
    • KABAR BHABINKAMTIBMAS
    • KABAR MILITER
  • Opini
  • Sekitar Kita
    • Gaya Hidup
      • Olahraga
      • Musik
      • KABAR NYIUR MELAMBAI
    • Pendidikan
      • Kabar Kampus
    • Kesehatan
      • Kuliner
    • Lingkungan
      • Pariwisata
No Result
View All Result
Mimoza TV
  • Kabar Daerah
    • Provinsi Gorontalo
    • Kota Gorontalo
    • Kabupaten Gorontalo
    • Bone Bolango
    • Boalemo
    • Pohuwato
    • Gorontalo Utara
  • Peristiwa
    • Nasional
    • Internasional
  • Cek Fakta
  • Ekonomi
  • Politik
    • Partai
  • Hukum & Kriminal
    • KABAR BHABINKAMTIBMAS
    • KABAR MILITER
  • Opini
  • Sekitar Kita
    • Gaya Hidup
      • Olahraga
      • Musik
      • KABAR NYIUR MELAMBAI
    • Pendidikan
      • Kabar Kampus
    • Kesehatan
      • Kuliner
    • Lingkungan
      • Pariwisata
No Result
View All Result
Mimoza TV

LANGIT MAHAL GORONTALO; HARGA TIKET MENCEKIK, PEMERINTAH MEMBISU & SEBUAH PERTANYAAN UNTUK PRESIDEN PRABOWO

by Redaksi
Oktober 29, 2025
Reading Time: 12 mins read
52 4
A A
0
Share on FacebookShare on WhatsappShare On Twitter

Bagi sebuah provinsi kepulauan seperti Gorontalo, transportasi udara bukanlah kemewahan, melainkan urat nadi esensial yang menyambungkan denyut ekonomi, sosial, dan bahkan spiritual warganya dengan seluruh nusantara. Jalur udara adalah jembatan bagi para perantau untuk kembali ke pelukan keluarga, koridor bagi mahasiswa untuk menimba ilmu, kanal bagi pelaku usaha untuk menggerakkan roda perekonomian, dan jalan suci bagi jemaah untuk menunaikan ibadah Umrah. Ketika urat nadi ini tersumbat oleh harga tiket yang melambung tak terkendali, Gorontalo secara efektif terisolasi, terperangkap dalam paradoks sebagai gerbang ekonomi yang justru terkunci dari dalam.

Keluhan ini bukanlah isapan jempol, melainkan realitas pahit yang terpampang pada layar pemesanan tiket. Penelusuran untuk 27 Oktober 2025 mengungkap anomali yang secara hukum patut dipertanyakan: harga tiket sekali jalan Jakarta-Gorontalo (GTO) mencapai IDR 3.085.091 hingga IDR 3.852.802, dan ironisnya, semua adalah penerbangan transit [Image 1]. Sebagai perbandingan, rute sebanding ke Palu (PLW) hanya mulai dari IDR 1.267.331 [Image 2], dan rute lebih jauh ke Manado (MDC) berkisar IDR 1.946.151 [Image 3]. Apa justifikasi hukum atas disparitas harga lebih dari 100% ini?

Keheningan regulator dan maskapai atas jeritan publik ini mengindikasikan adanya kegagalan sistemik, bukan sekadar dinamika pasar wajar. Oleh karena itu, tulisan ini bukanlah sekadar keluhan, melainkan sebuah pertanyaan hukum. Tujuannya adalah membongkar kebisuan ini melalui analisis forensik terhadap regulasi penerbangan dan perlindungan konsumen, serta menuntut akuntabilitas dari Pemerintah Provinsi Gorontalo, Kementerian Perhubungan, dan seluruh maskapai yang melayani rute ke Serambi Madinah.

Baca juga

Geledah Kantor KONI, Kejati Temukan Belasan Cap Stempel Termasuk Bertuliskan Toko Atom Gorontalo

Deretan Penyakit Menular di Gorontalo Tahun 2024: Kota Tertinggi TBC, Bone Bolango Meledak DBD

Membedah Aturan Main: Tarif Batas Atas (TBA) dan Realitas di Lapangan

Untuk memahami akar permasalahan harga tiket yang tidak wajar, kita harus terlebih dahulu membedah “kitab suci” yang mengatur penetapan tarif penerbangan di Indonesia. Kerangka hukum ini, meski dirancang untuk melindungi, tampaknya menyisakan celah yang dieksploitasi dalam yang kita hadapi di provinsi Gorontalo.

Regulasi utama yang menjadi pedoman adalah Peraturan Menteri Perhubungan (Permenhub) Nomor PM 20 Tahun 2019 tentang Tata Cara dan Formulasi Perhitungan Tarif Batas Atas Penumpang Pelayanan Kelas Ekonomi Angkutan Udara Niaga Berjadwal Dalam Negeri. Peraturan ini adalah payung hukum yang menetapkan mekanisme bagaimana harga tiket tertinggi, atau yang dikenal sebagai Tarif Batas Atas (TBA), ditentukan. Sebagai aturan pelaksana yang lebih teknis, Kementerian Perhubungan menerbitkan Keputusan Menteri Perhubungan (KM) Nomor 106 Tahun 2019, yang berisi daftar besaran TBA untuk setiap rute penerbangan domestik di Indonesia.

Secara prinsip, TBA adalah plafon harga yang tidak boleh dilampaui oleh maskapai untuk penjualan tiket kelas ekonomi. Tujuannya mulia: melindungi konsumen dari harga yang eksploitatif sekaligus menjaga keberlangsungan industri penerbangan. Formulasi perhitungan TBA, sebagaimana diatur dalam Lampiran Permenhub PM 20/2019, didasarkan pada berbagai komponen biaya operasional pesawat. Komponen ini mencakup:

  • Biaya Langsung: Meliputi biaya yang terkait langsung dengan operasional pesawat seperti bahan bakar (avtur), biaya sewa atau penyusutan pesawat, gaji kru, biaya pemeliharaan, biaya jasa kebandarudaraan, dan navigasi.
  • Biaya Tidak Langsung: Mencakup biaya penunjang seperti pemasaran, penjualan, dan biaya organisasi lainnya.

Faktor utama yang menentukan besaran TBA untuk sebuah rute adalah jarak tempuh dan jenis pesawat yang digunakan (jet atau propeller). Logikanya sederhana: semakin jauh jaraknya, semakin tinggi pula biaya operasionalnya, dan dengan demikian, semakin tinggi pula batas atas tarif yang diizinkan.

Dengan berpegang pada prinsip “jarak menentukan harga”, anomali pada rute Gorontalo menjadi semakin tajam. Mari kita bandingkan tiga rute dari Jakarta dengan jarak yang relatif berdekatan di Pulau Sulawesi:

  • Jakarta (CGK) – Palu (PLW): Jarak sekitar 1.579 km.
  • Jakarta (CGK) – Gorontalo (GTO): Jarak sekitar 1.947 km.
  • Jakarta (CGK) – Manado (MDC): Jarak sekitar 2.198 km.

Berdasarkan data ini, TBA untuk rute Gorontalo seharusnya berada di antara TBA Palu dan Manado. Sebuah berita dari tahun 2019 yang merujuk pada regulasi sebelumnya (KM 72/2019, yang kemudian digantikan oleh KM 106/2019) menyebutkan bahwa TBA untuk rute Gorontalo-Jakarta adalah Rp 2,8 juta. Mengingat KM 106/2019 menurunkan TBA secara umum sekitar 12-16% , kita dapat membuat estimasi yang wajar untuk TBA saat ini. Namun, bahkan dengan menggunakan angka lama sebagai patokan kasar, perbandingan dengan harga pasar pada 27 Oktober 2025 hingga penulis menerbitkan tulisan ini, menunjukkan sebuah distorsi yang parah.

FiturJakarta (JKT) -> Gorontalo (GTO)Jakarta (JKT) -> Palu (PLW)Jakarta (JKT) -> Manado (MDC)
Jarak Penerbangan (approx.)1.947 km1.579 km2.198 km
Estimasi TBA (berdasarkan KM 106/2019)~Rp 2.850.000~Rp 2.300.000~Rp 3.100.000
Harga Tiket Pasar (27 Okt 2025)IDR 3.085.091 – IDR 3.852.802IDR 1.267.331 – IDR 1.734.044IDR 1.946.151 – IDR 2.225.172
% Harga Pasar dari Estimasi TBA>100% (berpotensi melanggar) atau mendekati 100%~55% – 75%~62% – 71%
Maskapai Dominan (dari gambar)Batik Air, Lion Air (Lion Group)Lion Air, Super Air JetLion Air
Ketersediaan Penerbangan LangsungTidak ada (semua transit)AdaAda

Tabel di atas mengungkap dua kejanggalan fundamental. Pertama, harga tiket ke Gorontalo tidak hanya mendekati, tetapi bahkan berpotensi melampaui batas atas yang ditetapkan, terutama jika mempertimbangkan harga tertinggi yang ditawarkan. Kedua, dan yang lebih penting, adalah kontras yang mencolok dengan rute Palu dan Manado. Di rute-rute tersebut, maskapai menjual tiket dengan harga yang hanya berkisar antara 55% hingga 75% dari TBA. Ini membuktikan bahwa TBA bukanlah harga jual, melainkan hanya batas pengaman. Kekuatan pasar dan persaingan sehat seharusnya menekan harga jauh di bawah plafon tersebut.

Hal ini mengarah pada sebuah kesimpulan yang meresahkan: pada rute Gorontalo, TBA tidak lagi berfungsi sebagai “langit-langit pelindung” (protective ceiling) bagi konsumen, melainkan telah menjadi “lantai pembenaran” (justification floor) bagi maskapai. Dalam kondisi pasar yang diduga minim persaingan, maskapai seolah-olah menggunakan TBA sebagai harga acuan, bukan batas maksimal. Regulasi yang seharusnya melindungi justru menjadi alat legitimasi untuk menerapkan harga setinggi mungkin di pasar yang captive.

Kejanggalan diperparah oleh fakta bahwa semua penerbangan ke Gorontalo yang ditampilkan adalah penerbangan transit. Ini membuka sebuah pertanyaan hukum yang krusial: bagaimana TBA dihitung untuk perjalanan multi-segmen? Apakah TBA dihitung berdasarkan jarak lurus dari titik asal ke tujuan akhir (misalnya, Jakarta ke Gorontalo), atau merupakan penjumlahan dari TBA untuk setiap segmen penerbangan (misalnya, TBA Jakarta-Makassar ditambah TBA Makassar-Gorontalo)?

Jika yang terakhir yang berlaku, maka ini adalah sebuah celah regulasi yang signifikan. Dengan tidak menyediakan penerbangan langsung, maskapai dapat secara legal mengenakan biaya yang jauh lebih tinggi daripada jika mereka terbang langsung. Ketiadaan penerbangan langsung, dalam skenario ini, bukan lagi sekadar masalah ketidakefisienan operasional, melainkan menciptakan sebuah kondisi yang memungkinkan maskapai untuk mengenakan tarif yang tidak sejalan dengan semangat pembatasan harga yang diamanatkan oleh Permenhub PM 20/2019. Konsumen dipaksa masuk ke dalam skema perjalanan yang lebih mahal, bukan karena pilihan, tetapi karena ketiadaan alternatif. Kondisi ini berpotensi menimbulkan situasi eksploitatif bagi konsumen dalam kerumitan teknis regulasi.

Struktur Biaya Baru: Alasan Sah atau Dalih yang Menguntungkan?

Ketika dihadapkan pada keluhan harga tinggi, dalih yang sering muncul dari sisi operator adalah kenaikan biaya operasional. Sebuah peraturan hipotetis, Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 31 Tahun 2025 tentang Tarif Layanan Badan Layanan Umum Unit Penyelenggara Bandar Udara, memberikan gambaran tentang bagaimana struktur biaya baru di bandara dapat menjadi argumen di masa depan untuk menjustifikasi harga tiket yang lebih mahal. Namun, analisis mendalam terhadap peraturan ini menunjukkan bahwa argumen tersebut, jika digunakan, argumen tersebut patut diuji kembali validitasnya dan terkesan lebih berpihak pada kepentingan usaha ketimbang menjadi alasan yang sepenuhnya dapat diterima.

PMK 31/2025, yang diasumsikan mulai berlaku, memperkenalkan struktur tarif baru untuk layanan kebandarudaraan yang dikelola oleh Badan Layanan Umum (BLU). Dua komponen utama yang secara langsung mempengaruhi biaya yang dibebankan kepada penumpang dan maskapai adalah:

  1. Pelayanan Jasa Penumpang Pesawat Udara (PJP2U) atau Passenger Service Charge (PSC): Peraturan ini menetapkan sistem zonasi (Zona I, II, dan III) untuk bandara. Untuk bandara yang masuk dalam Zona III, batas tarif tertinggi PJP2U ditetapkan sebesar IDR 100.000 per penumpang.
  2. Jasa Pendaratan (Landing Fee) dan Jasa Penempatan Pesawat (Parking Fee): Biaya ini juga diatur berdasarkan sistem zonasi dan bobot pesawat. Bandara di Zona III akan memberlakukan tarif tertinggi.

Mari kita lakukan uji kelayakan. Asumsikan Bandara Djalaluddin di Gorontalo, karena letak dan statusnya, diklasifikasikan sebagai bandara Zona III, yang berarti menanggung tarif layanan tertinggi. Jika sebelum peraturan ini PJP2U di Gorontalo, misalnya, adalah IDR 60.000, maka kenaikan tarif menjadi IDR 100.000 berarti ada penambahan biaya sebesar IDR 40.000 per penumpang.

Sementara itu, kenaikan biaya pendaratan dan penempatan pesawat, meskipun signifikan bagi maskapai, harus didistribusikan ke seluruh penumpang dalam satu penerbangan. Jika sebuah pesawat Boeing 737-800 mengangkut sekitar 150 penumpang, maka kenaikan beberapa juta rupiah dalam biaya pendaratan, ketika dibagi rata, hanya akan menambah puluhan ribu rupiah pada biaya per tiket.

Dengan demikian, total kenaikan biaya yang dapat diatribusikan secara langsung dari PMK 31/2025 ini, bahkan dalam skenario paling mahal sekalipun, kemungkinan besar tidak akan melebihi IDR 100.000 per tiket. Angka ini sama sekali tidak dapat menjelaskan atau membenarkan disparitas harga tiket ke Gorontalo yang mencapai lebih dari IDR 1.500.000 dibandingkan dengan rute sebanding seperti Palu. Kenaikan biaya bandara ini hanyalah riak kecil di tengah gelombang harga yang jauh lebih besar.

Lebih jauh, peraturan ini justru memberikan amunisi naratif bagi maskapai. Dengan adanya kenaikan tarif yang dilegitimasi oleh peraturan pemerintah, maskapai dapat dengan mudah mengalihkan tanggung jawab. Mereka mungkin bisa secara terbuka menyatakan bahwa kenaikan harga tiket disebabkan oleh “penyesuaian tarif layanan bandara oleh pemerintah.” menurut penulis Ini adalah strategi pengalihan isu yang sangat efektif (bilamana dilakukan). Fokus publik dan regulator akan teralihkan ke kebijakan Kementerian Keuangan, sementara praktik penetapan harga oleh maskapai sendiri, yang merupakan kontributor utama mahalnya tiket, luput dari sorotan. PMK ini, terlepas dari niat baiknya untuk meningkatkan layanan bandara, secara tidak langsung berpotensi menjadi pembenaran yang dapat digunakan untuk mengalihkan fokus dari praktik penetapan harga maskapai.

Fenomena ini diperburuk oleh struktur perpajakan di Indonesia. Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) telah berulang kali menyoroti bahwa Pajak Pertambahan Nilai (PPN) sebesar 11% (dan akan naik menjadi 12%) dikenakan pada berbagai lapisan komponen tiket pesawat. PPN tidak hanya dikenakan pada tarif dasar (base fare), tetapi juga pada biaya tambahan (surcharge) dan PJP2U. Ini menciptakan efek berantai atau compounding effect. Kenaikan PJP2U sebesar IDR 40.000, setelah dikenakan PPN 11%, akan menjadi beban tambahan sebesar IDR 44.400 bagi konsumen. Meskipun efek ini ada, perlu ditegaskan kembali bahwa ini tetap tidak dapat menjadi justifikasi atas lonjakan harga yang ekstrem. Ini justru menyoroti bagaimana berbagai kebijakan pemerintah, baik tarif layanan maupun perpajakan secara kumulatif dapat membebani konsumen, sebuah kondisi yang kemudian dapat dieksploitasi oleh pelaku usaha di pasar yang tidak kompetitif.

Konsumen yang Terlupakan: Perspektif Undang-Undang Perlindungan Konsumen

Debat mengenai harga tiket pesawat seringkali terjebak dalam argumen teknis tentang biaya operasional dan regulasi tarif. Namun, perdebatan ini seringkali melupakan satu pemangku kepentingan paling fundamental yakni “konsumen”. Persoalan tiket mahal Gorontalo bukanlah semata-mata isu transportasi atau ekonomi, melainkan isu hak-hak sipil yang dijamin oleh Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (UUPK). Ketika harga menjadi penghalang yang tidak rasional, hak-hak dasar konsumen sedang dilanggar.

UUPK secara tegas menggariskan hak dan kewajiban yang harus dihormati dalam setiap transaksi komersial. Dalam konteks harga tiket Gorontalo, beberapa pasal kunci dalam UUPK secara terang-benderang relevan dan berpotensi dilanggar :

  • Pasal 4 huruf c: Hak atas Informasi yang Benar, Jelas, dan Jujur. Konsumen berhak mendapatkan rincian yang transparan mengenai struktur harga tiket. Saat ini, harga yang tertera di platform penjualan adalah harga final tanpa perincian yang memadai. Mengapa komponen biaya (seperti fuel surcharge atau alokasi biaya operasional lainnya) untuk rute Gorontalo tampak jauh lebih tinggi dibandingkan rute lain dengan jarak tempuh serupa? Ketiadaan transparansi ini menyulitkan konsumen untuk memahami kewajaran harga yang mereka bayar dan dapat dianggap sebagai pelanggaran terhadap hak atas informasi yang jujur.
  • Pasal 4 huruf g: Hak untuk Diperlakukan atau Dilayani secara Benar dan Jujur serta Tidak Diskriminatif. Ini adalah pasal yang paling kuat dalam konteks ini. Diskriminasi tidak hanya berbasis SARA, tetapi juga dapat bersifat ekonomis. Ketika konsumen di satu wilayah (Gorontalo) secara sistematis dan konsisten dibebani dengan harga yang jauh lebih tinggi untuk layanan yang sebanding (penerbangan) dibandingkan konsumen di wilayah lain (Palu atau Manado), ini dapat diargumentasikan sebagai bentuk perlakuan diskriminatif. Maskapai, sebagai penyedia jasa, memiliki kewajiban untuk tidak menerapkan standar ganda yang merugikan sekelompok konsumen hanya karena mereka berada di pasar yang kurang kompetitif.
  • Pasal 7 huruf a: Kewajiban Pelaku Usaha untuk Beritikad Baik. Asas itikad baik adalah jantung dari hukum perjanjian dan perlindungan konsumen. Pertanyaannya adalah, apakah penetapan harga yang tampaknya memaksimalkan pendapatan dari pasar yang captive, yang menyebabkan kerugian sosial nyata seperti pembatalan perjalanan ibadah, kesulitan akses pendidikan, dan hambatan ekonomi, dapat dianggap sebagai tindakan yang didasari “itikad baik”? Sulit untuk menjawabnya dengan “ya”. Praktik yang memprioritaskan keuntungan secara absolut tanpa mempertimbangkan dampak sosial yang merusak dapat dipandang sebagai tindakan yang bertentangan dengan asas fundamental ini.

Kekhawatiran ini bukan hanya analisis teoretis. Suara kritis dari Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) telah berulang kali menggema, menyoroti penderitaan konsumen akibat harga tiket yang mahal dan kebijakan pemerintah yang seringkali tidak berpihak pada publik. YLKI secara konsisten menyerukan audit terhadap maskapai dan mengkritik berbagai pungutan yang semakin memberatkan, membuktikan bahwa masalah ini adalah isu nasional yang dirasakan secara luas, namun dengan dampak paling parah di daerah-daerah terpencil seperti Gorontalo.

Pada pasar yang berfungsi normal, informasi harga yang jelas memungkinkan konsumen untuk membuat pilihan yang rasional. Namun, di pasar Gorontalo yang tampaknya mengalami kegagalan, sekadar mencantumkan harga akhir tidaklah cukup untuk memenuhi amanat UUPK. Hak atas “informasi yang benar, jelas, dan jujur” seharusnya dimaknai lebih dari sekadar angka final. Ia menyiratkan bahwa konsumen harus dapat memahami dasar dari angka tersebut. Ketika pilihan yang tersedia bagi konsumen hanyalah “bayar mahal atau tidak terbang sama sekali,” maka fungsi protektif dari UUPK menjadi lumpuh. Ketiadaan pilihan yang nyata menihilkan kekuatan konsumen, dan dalam kondisi seperti inilah intervensi regulator menjadi sebuah keharusan, bukan lagi pilihan.

Beberapa Pertanyaan Sederhana tentang Langit Gorontalo yang Mahal

Terkadang, setelah lama mengamati berbagai persoalan publik, ada kalanya sebuah masalah yang tampak rumit justru bisa disederhanakan jika kita kembali pada akal sehat dan rasa keadilan. Kasus tiket Gorontalo ini adalah salah satunya. Data sudah jelas, perbandingan harga sudah gamblang, dan dampaknya bagi masyarakat pun nyata. Yang tersisa kini bukanlah perdebatan regulasi yang berbelit-belit, melainkan beberapa pertanyaan sederhana dari kami, sebagai rakyat biasa, kepada mereka yang memegang amanah.

Pertama, untuk para pengelola maskapai penerbangan. Izin rute yang Anda pegang adalah sebuah konsesi dari negara, sebuah kepercayaan publik. Kami ingin bertanya dengan tulus: apakah kepercayaan itu tidak lagi menyertakan tanggung jawab sosial untuk menyediakan konektivitas yang terjangkau? Di saat tiket ludes terjual bukti sahih bahwa permintaan begitu tinggi. kami hanya ingin tahu, nurani bisnis seperti apa yang tetap mempertahankan harga pada level yang terasa mencekik? Sementara di darat, ada kisah-kisah nyata yang menyentuh: jemaah umrah yang terpaksa menunda niat sucinya, warga yang harus menempuh perjalanan darat melelahkan via Palu demi harga yang lebih manusiawi, atau keluarga yang urung berkumpul karena mahalnya ongkos pulang. Tidakkah potret sosial ini menjadi pertimbangan dalam neraca bisnis Anda?

Kedua, kepada Bapak dan Ibu yang terhormat di Kementerian Perhubungan dan KPPU. Sebagai wasit dan pengawas, izinkan kami bertanya: saat data perbandingan harga antara Gorontalo dan kota lain begitu timpang, sinyal apalagi yang dibutuhkan untuk turun tangan? Apakah fungsi pengawasan negara hanya sebatas memeriksa angka di atas kertas, tanpa menyentuh ‘semangat keadilan’ dari sebuah regulasi? Kami hanya ingin tahu, apa sebenarnya yang menghalangi dilakukannya audit menyeluruh dan investigasi atas potensi praktik persaingan yang tidak sehat di rute ini?

Ketiga, untuk Pemerintah Provinsi Gorontalo, sebagai suara kami yang paling dekat. Pertanyaan kami mungkin terdengar sedikit pedih: sampai kapan aspirasi warganya sendiri hanya akan menggema di ruang-ruang lokal tanpa menjadi sebuah gebrakan advokasi yang solid dan tak kenal lelah di tingkat nasional? Bukankah tugas utama pemerintah daerah adalah memastikan warganya tidak terisolasi dan tercekik oleh kondisi semacam ini?

Dan terakhir, dengan segala hormat, sebuah pertanyaan untuk Bapak Presiden Prabowo Subianto. Visi besar menuju Indonesia Emas 2045 yang berprinsip pada pemerataan pembangunan adalah harapan kami semua. Namun, bagaimana visi agung itu bisa terwujud jika satu jengkal langit di atas Gorontalo saja terasa begitu mahal dan tak adil? Kami hanya ingin memastikan, apakah dalam agenda besar Bapak, ada ruang untuk menyelesaikan masalah fundamental seperti ‘keadilan konektivitas’ ini, agar Gorontalo dan daerah-daerah lain yang bernasib serupa tidak merasa ditinggalkan dalam perjalanan besar bangsa ini?

Akhir kata Ini bukanlah tuduhan. Ini adalah pertanyaan-pertanyaan dari warga negara yang menggunakan haknya untuk tahu. Sebab pada akhirnya, langit ini milik kita semua, bukan hanya milik mereka yang mampu membayar mahal.

Penulis : Suci Priyanti Kartika Chanda Sari.

Tags: Gorontalomaskapaipmktiket pesawat

Berita Terkait

Bidang Tindak Pidana Khusus (Pidsus) Kejaksaan Tinggi (Kejati) Gorontalo mengamankan belasan cap stempel saat melakukan penggeledahan di kantor KONI Provinsi Gorontalo, Rabu (8/10/2025). Foto: Lukman/mimoza.tv.

Geledah Kantor KONI, Kejati Temukan Belasan Cap Stempel Termasuk Bertuliskan Toko Atom Gorontalo

Oktober 8, 2025

Deretan Penyakit Menular di Gorontalo Tahun 2024: Kota Tertinggi TBC, Bone Bolango Meledak DBD

September 18, 2025
Bundaran Saronde menjadi ruang dialog terbuka. Para pimpinan daerah melebur bersama ribuan mahasiswa, mendengarkan aspirasi seputar anggaran pendidikan dan isu-isu daerah lainnya. Foto: Lukman/mimoza.tv.

Mahasiswa Turun ke Jalan, Pimpinan Daerah Ikut Duduk di Aspal

September 1, 2025

Sapa Mahasiswa, Adhan: Sebaiknya Gubernur dan Ketua DPRD Terima Pendemo

Kalau Gubernur Tak Mau Temui Massa, Mahasiswa Ancam Segel Rudis

KPwBI Gorontalo Dukung Gerakan Pangan Murah, Beras SPHP Dijual Rp12 Ribu/Kg

  • Tentang Kami
  • Redaksi
  • Kontak
  • Pedoman Media Siber
  • Index
  • Disclaimer

© 2025 Mimoza TV - PT. Mimoza Multimedia Agus Salim St. 67 Gorontalo

Welcome Back!

Sign In with Facebook
Sign In with Google
OR

Login to your account below

Forgotten Password?

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In
  • Login
  • Index Berita
  • Kabar Daerah
    • Provinsi Gorontalo
    • Kota Gorontalo
    • Kabupaten Gorontalo
    • Bone Bolango
    • Boalemo
    • Pohuwato
    • Gorontalo Utara
  • Peristiwa
    • Nasional
    • Internasional
  • Cek Fakta
  • Ekonomi
  • Politik
    • Partai
  • Hukum & Kriminal
  • Opini
  • Sosial Budaya
    • Gaya Hidup
    • Hiburan
    • Kabar Kampus
    • Kesehatan
    • Kuliner
    • Lingkungan
    • Musik
    • Olahraga
    • Pariwisata
    • Pendidikan
    • Sekitar Kita
    • Unik
No Result
View All Result

© 2025 Mimoza TV - PT. Mimoza Multimedia Agus Salim St. 67 Gorontalo

Go to mobile version