Pengakuan Wahyudin Moridu di hadapan Badan Kehormatan DPRD bahwa dirinya dalam keadaan mabuk saat melontarkan kalimat kontroversial adalah tamparan telak bagi marwah lembaga itu sendiri. Bukan hanya ucapannya yang bermasalah, tetapi juga sikap yang menunjukkan rapuhnya moral seorang pejabat publik.
Namun anehnya, di tengah polemik yang seharusnya fokus ke substansi, muncul riak lain yang mengalihkan perhatian: mengapa seorang yang mengaku mabuk bisa diloloskan naik pesawat? Pertanyaan ini terdengar serius, tapi sejatinya menyesatkan arah.
Publik perlu tahu, AVSEC bandara bukan polisi moral. Mereka diberi mandat memeriksa barang berbahaya dan menjaga keselamatan penerbangan, bukan mengukur kadar alkohol dalam tubuh penumpang. Selama seseorang masih bisa menyetir mobil seperti Wahyudin, berjalan tegak, bicara normal, dan mengikuti prosedur, ia tetap diperbolehkan masuk pesawat. Menyalahkan AVSEC dalam kasus ini sama saja menyorot lampu ke panggung yang salah, sementara aktor utamanya sedang melakukan kesalahan fatal di depan mata.
Sayangnya, dalam setiap keramaian publik, selalu saja ada pihak yang berusaha tampil paling keras, meski arahnya melenceng. Seperti orang sibuk menyoraki wasit, padahal pemainnya sendiri baru saja mencetak gol bunuh diri.
Fokus seharusnya kembali ke hal mendasar: seorang wakil rakyat dengan ringan menyebut dirinya mabuk di forum kehormatan. Itu masalah utamanya, bukan teknis bandara, apalagi ocehan pinggiran. Karena mabuk di bandara mungkin bisa lolos dari screening. Tapi mabuk di kehormatan—sekali diucapkan—sulit ditebus dan akan terus menodai citra lembaga.
Masyarakat perlu tetap jernih membaca situasi. Jangan mudah teralihkan pada isu pinggiran yang sengaja ditiupkan untuk mengaburkan masalah utama. Kritis itu penting, tetapi kritis juga berarti tahu di mana persoalan sesungguhnya. Sebab ketika publik bisa menuntut pertanggungjawaban dengan fokus yang tepat, maka tidak ada ruang bagi pejabat mabuk kehormatan untuk berlindung di balik keramaian semu.
Redaksi.