Gorontalo mimoza.tv – Permasalahan sampah di Kota Gorontalo semakin mencuat dalam beberapa waktu terakhir. Isu ini menjadi perbincangan hangat, baik di warung kopi maupun di media sosial. Tumpukan sampah yang berserakan di tempat pembuangan sementara (TPS) dan di tepi jalan mencerminkan urgensi solusi yang harus segera diambil.
Fakta menunjukkan bahwa di Indonesia, sampah organik mendominasi komposisi limbah di tempat pembuangan akhir (TPA), berkisar antara 50-60%. Sumber utama sampah organik berasal dari konsumsi rumah tangga yang tinggi, minimnya sistem pengelolaan yang efektif, serta rendahnya tingkat daur ulang. Akibatnya, sampah organik yang seharusnya bisa diolah menjadi kompos atau biogas justru berakhir di TPA dan memperparah permasalahan lingkungan.
Solusi Kolaboratif: Pemerintah dan Masyarakat
Mengatasi masalah ini tidak bisa hanya mengandalkan pemerintah, tetapi membutuhkan keterlibatan aktif masyarakat. Salah satu langkah konkret adalah dengan mendorong program kompos skala rumah tangga, mengembangkan eco enzyme, serta menerapkan kebijakan pemilahan sampah sejak dari sumbernya.
Sebagai strategi awal, pemerintah dapat menunjuk satu kelurahan sebagai pilot project pengelolaan sampah organik sebelum diterapkan secara lebih luas. Pendekatan ini dapat dilakukan dengan mendorong terbentuknya komunitas Eco Enzyme, yang berperan dalam mengedukasi masyarakat untuk mengolah limbah dapur menjadi produk yang bermanfaat.
Tahapan implementasi ini mencakup:
Menentukan Kelurahan Percontohan – Memilih daerah dengan tingkat kesadaran lingkungan yang tinggi.
Menyiapkan Sarana dan Prasarana – Penyediaan tempat pengolahan eco enzyme dan komposter komunitas.
Pelatihan dan Sosialisasi – Mengadakan workshop pembuatan eco enzyme dan kompos.
Kolaborasi dengan Lembaga & Relawan – Melibatkan LSM, akademisi, dan pegiat lingkungan.
Penggalangan Dana & Dukungan Perusahaan – Mendorong CSR dari perusahaan untuk mendukung keberlanjutan program.
Penerapan Sistem Pengelolaan Sampah Organik
Agar program ini berjalan efektif, diperlukan sistem pengelolaan yang sistematis, seperti:
Pemilahan Sampah dari Rumah Tangga – Warga diharuskan memilah sampah organik dan non-organik.
Pembangunan Tempat Pengolahan Skala Komunitas – Penyediaan lokasi khusus untuk fermentasi eco enzyme.
Pemanfaatan Produk Olahan – Eco enzyme dapat digunakan untuk pertanian organik, pembersih alami, hingga produk ramah lingkungan lainnya.
Sebagai bentuk apresiasi, pemerintah dapat memberikan insentif kepada warga yang aktif dalam pemilahan dan pengelolaan sampah, misalnya melalui pengurangan iuran sampah atau kompetisi lingkungan.
Tanggung Jawab Pelaku Usaha: Restoran, Warung, dan Rumah Makan
Selain tanggung jawab rumah tangga, pelaku usaha di sektor makanan juga memiliki peran penting dalam mengelola sampah organiknya. Pemerintah dapat menetapkan Peraturan Daerah (Perda) Wajib Pengelolaan Sampah Organik yang mengharuskan restoran, warung, dan rumah makan untuk:
Melakukan pemilahan sampah organik dan non-organik sebelum dibuang.
Mengolah sisa makanan menjadi kompos atau eco enzyme.
Bekerja sama dengan peternak atau petani untuk memanfaatkan sisa makanan sebagai pakan ternak atau pupuk.
Menghadapi sanksi berupa denda atau pencabutan izin usaha jika tidak menerapkan pengelolaan sampah yang baik.
Sebagai dukungan nyata, pemerintah dapat memberikan bantuan berupa wadah untuk pembuatan eco enzyme, seperti drum plastik ukuran 50 liter untuk pelaku usaha atau lingkungan tertentu. Jika dibandingkan dengan biaya penambahan armada pengangkut sampah, kebijakan ini jauh lebih efektif dan ekonomis.
Perbandingan Biaya: Armada Sampah vs Wadah Eco Enzyme
Aspek | Menambah Armada Pengangkut Sampah | Memberikan Wadah Eco enzyme |
Biaya Pengadaan | Rp500 juta – Rp1 miliar per truk | Rp50 ribu – Rp100 ribu per wadah (jerigen 10L) |
Biaya Operasional (BBM, Gaji, Perawatan) | Rp10-20 juta per bulan per truk | Nol (karena pengelolaan mandiri) |
Efektivitas Pengurangan Sampah | Tidak mengurangi jumlah sampah, hanya memindahkan ke TPA | Mengurangi volume sampah di sumbernya |
Dampak Jangka Panjang | TPA semakin penuh, perluasan lahan | Sampah organik dikelola, jadi produk bermanfaat (eco enzyme, kompos) |
Jika dikalkulasi, satu unit truk sampah yang harganya mencapai Rp500 juta – Rp1 miliar setara dengan pengadaan 10.000 wadah eco enzyme yang bisa diberikan kepada masyarakat dan pelaku usaha. Perbedaannya jelas:
Truk hanya memindahkan masalah ke TPA, sedangkan wadah eco enzyme mengurangi sampah di sumbernya.
Armada sampah membutuhkan biaya operasional yang terus meningkat (BBM, gaji, perawatan), sedangkan eco enzyme dapat dibuat dengan biaya nol setelah wadah diberikan.
Selain dari segi biaya, manfaat dari pendekatan ini jauh lebih luas:
Mengurangi beban TPA hingga 50% karena sampah organik diolah langsung di sumbernya.
Menekan emisi karbon dengan mengurangi frekuensi pengangkutan sampah.
Memberikan dampak ekonomi, karena eco enzyme bisa dijual atau dimanfaatkan untuk keperluan pertanian organik.
Membantu membangun kesadaran masyarakat untuk lebih mandiri dalam mengelola sampahnya.
Monitoring dan Evaluasi
Sebagai bentuk konsistensi dalam mengatasi permasalahan sampah, program ini harus didukung dengan monitoring dan evaluasi berkala. Pemerintah dapat:
Mengukur seberapa banyak sampah organik yang berhasil dikelola melalui program ini.
Melakukan replikasi ke kelurahan lain jika pilot project berhasil.
Menggunakan sistem pelaporan digital agar transparansi dan efektivitas program dapat terus dipantau.
Kesimpulan
Permasalahan sampah di Kota Gorontalo membutuhkan solusi kolaboratif yang melibatkan pemerintah, masyarakat, dan pelaku usaha. Dengan strategi pengelolaan sampah berbasis komunitas, penerapan regulasi yang tegas, serta dukungan infrastruktur seperti wadah eco enzyme, masalah ini dapat diatasi secara lebih efektif dan berkelanjutan.
Kini saatnya Kota Gorontalo bertransformasi menuju pengelolaan sampah yang lebih modern, efisien, dan ramah lingkungan. Pemerintah, masyarakat, dan dunia usaha harus bersama-sama mengambil peran dalam menciptakan lingkungan yang lebih bersih dan sehat bagi generasi mendatang.
Redaksi.