Gorontalo Utara, mimoza.tv – Dugaan penyalahgunaan dana desa di Kabupaten Gorontalo Utara mulai menampakkan wajah barunya. Kali ini bukan lewat proyek fisik, melainkan melalui kegiatan bimbingan teknis (bimtek) yang dikemas seolah program pemberdayaan, padahal bertentangan dengan ketentuan penggunaan dana desa.
Plt Kepala Seksi Pidana Khusus Kejari Gorontalo Utara, Bagas Prasetyo Utomo, mengungkapkan bahwa indikasi penyimpangan itu berawal dari keluhan sejumlah kepala desa dan pendamping desa yang menyoroti penggunaan dana desa tahun anggaran 2023 hingga 2024.
“Awalnya kami menerima informasi dari para kepala desa dan pendamping desa, ada penggunaan dana desa yang tidak tepat. Setelah dilakukan penyelidikan, kami menemukan adanya indikasi perbuatan melawan hukum. Karena itu, pada 30 September 2025, status penanganannya kami naikkan menjadi penyidikan,” ungkap Bagas kepada wartawan, Senin (27/10/2025).
Dari hasil pendalaman, Kejari menemukan bahwa Badan Kerja Sama Antar Desa (BKAD) di Gorontalo Utara melakukan pungutan terhadap dana desa untuk membiayai kegiatan bimtek yang diikuti kepala desa dan perangkat desa. Padahal, menurut ketentuan dalam Undang-Undang Desa, kewenangan penyelenggaraan pelatihan semacam itu berada di pemerintah kabupaten atau provinsi, bukan di BKAD.
“Berdasarkan pendapat ahli dari Kementerian Desa RI, bimtek seperti ini tidak termasuk dalam skala prioritas penggunaan dana desa. Untuk tahun 2023 dan 2024, dana desa seharusnya difokuskan pada dua hal: pemberdayaan masyarakat dan pembangunan desa,” jelas Bagas.
Lebih jauh, Bagas menyebut, pungutan tersebut telah berlangsung selama dua tahun dan nilainya mencapai Rp4,3 hingga Rp4,5 miliar. Dana itu dikumpulkan dari 123 desa di Gorontalo Utara, sebagian besar tanpa laporan pertanggungjawaban (SPJ) maupun laporan penggunaan (LPJ).
“Yang menarik, hingga pemeriksaan terakhir, banyak desa yang tidak membuat SPJ atau LPJ sama sekali, padahal itu wajib sesuai ketentuan Permendagri,” tegasnya.
Kejari Gorontalo Utara juga telah memeriksa sejumlah kepala desa, ketua dan bendahara BKAD, serta meminta keterangan dari ahli Kementerian Desa. Pemeriksaan juga dilakukan terhadap beberapa pihak dari Dinas Pemberdayaan Masyarakat dan Desa (PMD) setempat.
Selain bukti transfer, Kejari juga menemukan dua hingga tiga surat resmi dari pendamping desa yang sebelumnya telah memperingatkan pemerintah daerah agar penggunaan dana desa tidak keluar dari peruntukannya.
“Pendamping desa sebenarnya sudah menjalankan tugasnya untuk mengingatkan Pemkab agar dana desa tidak digunakan untuk hal di luar kewenangannya. Surat peringatan itu juga kami jadikan alat bukti,” ujar Bagas.
Ia menambahkan, besaran pungutan ke desa bervariasi tergantung kegiatan yang diadakan oleh BKAD. “Untuk satu kegiatan saja, satu desa bisa menyetorkan puluhan juta rupiah. Bayangkan jika dalam satu tahun anggaran ada beberapa kegiatan serupa,” tandasnya.
Bagas menegaskan, pihaknya tengah menelusuri lebih jauh aliran dana tersebut. “Untuk tahun 2022 dana sempat masuk ke rekening bendahara, sedangkan pada 2023–2024 langsung ke rekening BKAD. Kami sudah melakukan penelusuran transaksi itu,” pungkasnya.
Di tengah tahun politik, temuan ini menjadi alarm keras. Sebab, modus bimtek yang diklaim untuk peningkatan kapasitas justru berpotensi menjadi jalur baru penyalahgunaan dana publik, menggerus kepercayaan masyarakat terhadap program desa yang sejatinya lahir dari semangat gotong royong.
Penulis: Lukman.



