Gorontalo, mimoza.tv – Aroma tembakau yang selama puluhan tahun jadi simbol kemakmuran di Kediri kini bercampur getir. PT Gudang Garam Tbk (GGRM), salah satu raksasa industri rokok nasional, resmi melakukan pemutusan hubungan kerja (PHK) terhadap 308 karyawan.
Ketua Umum Konfederasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (KSPSI) Jumhur Hidayat mengonfirmasi kabar tersebut. Menurutnya, langkah manajemen tak terlepas dari penurunan kapasitas produksi di sektor sigaret kretek mesin (SKM) maupun sigaret kretek tangan (SKT).
“Informasi yang kami terima, PHK terjadi di sektor SKM dan SKT. Penurunan produksi membuat manajemen mengambil langkah efisiensi,” kata Jumhur, dikutip mimoza.tv dari Kompas.com, Selasa (9/9/2025).
Rokok Ilegal, Industri Resmi Tersungkur
Jumhur menegaskan, salah satu pemicu utama adalah maraknya peredaran rokok ilegal yang merajalela di pasaran.
“Harganya jauh lebih murah karena tidak membayar cukai. Padahal, dari setiap batang rokok legal, sekitar 78 persen masuk ke kas negara. Ketika ilegal beredar bebas, negara rugi, industri terpukul, dan pekerja jadi korban,” ujarnya.
Ironi ini membuat buruh menjadi pihak yang paling menderita, sementara rokok tanpa cukai kian leluasa beredar.
Laba Anjlok Tajam
Meski Gudang Garam belum sampai merugi, kinerja keuangannya terus melorot. Mengutip data Kompas.com, perusahaan asal Kediri ini mencatat laba Rp 5,32 triliun pada 2023. Namun, di 2024 anjlok drastis menjadi hanya Rp 980,8 miliar.
Kondisi makin memprihatinkan pada semester I 2025, saat laba bersih Gudang Garam hanya Rp 117 miliar. Padahal selama belasan tahun, emiten berkode GGRM itu selalu masuk daftar perusahaan paling untung di Bursa Efek Indonesia.
Sebelumnya, kabar PHK sempat beredar lewat sebuah video pendek viral di media sosial, memperlihatkan suasana haru perpisahan antarpekerja yang saling berjabat tangan dan berpelukan.
Isu pemutusan hubungan kerja (PHK) massal terhadap ribuan buruh PT Gudang Garam Tbk (GGRM) belakangan ramai diperbincangkan dan menambah keresahan publik. Namun, Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Disnakertrans) Jawa Timur membantah kabar tersebut.
Kepala Disnakertrans Jatim, Sigit Priyanto, menegaskan yang terjadi bukan PHK massal, melainkan program pensiun dini.
“Kami sudah koordinasi dengan Disnaker Kediri, ternyata itu adalah program pensiun dini,” ujarnya, Selasa (9/9).
Ia menambahkan, pemerintah daerah berkomitmen mencegah terjadinya PHK massal di perusahaan besar. Menurutnya, skema pensiun dini dinilai lebih manusiawi karena memberi solusi yang menguntungkan bagi pekerja maupun perusahaan.
Menjawab dugaan bahwa kebijakan ini dipengaruhi kenaikan tarif cukai rokok atau maraknya rokok ilegal, Sigit menegaskan hal itu murni merupakan kebijakan internal perusahaan.
Kontribusi Raksasa yang Kian Tergerus
Industri rokok bukan sekadar urusan konsumsi, tapi juga pilar ekonomi nasional. Mengutip Detik.com, Kementerian Keuangan mencatat penerimaan negara dari Cukai Hasil Tembakau (CHT) tahun 2023 mencapai Rp 213,48 triliun. Angka itu belum termasuk pajak lainnya dari industri hasil tembakau (IHT).
Selain menyumbang pundi negara, sektor IHT menyerap jutaan tenaga kerja. Data Kementerian Ketenagakerjaan menyebutkan ada 5,8 juta buruh menggantungkan hidup di industri ini.
Dari sisi ekspor, Badan Pusat Statistik (BPS) melaporkan nilai ekspor produk tembakau dan rokok pada Maret 2024 mencapai US$ 276,4 juta atau sekitar Rp 4,39 triliun (kurs Rp 15.900). Sementara nilai impor produk serupa hanya US$ 76,06 juta.
Dari Ladang Tembakau ke Jalur PHK
Bukan hanya di hilir, hulu industri ini juga menghadapi penurunan. BPS mencatat luas perkebunan tembakau nasional pada 2023 tinggal 191,8 ribu hektare, menyusut dibanding tahun 2020.
Jawa Timur masih menjadi lumbung tembakau terbesar dengan 90,6 ribu hektare, disusul Jawa Tengah (50 ribu hektare), NTB (34,3 ribu hektare), Jawa Barat (8 ribu hektare), dan Aceh (2,3 ribu hektare).
Ironinya, ketika rokok ilegal bebas beredar, lahan menyusut, laba perusahaan anjlok, dan negara kehilangan triliunan, justru buruh menjadi pihak pertama yang tersisih.
PHK ratusan karyawan di Gudang Garam hanyalah potret kecil dari rapuhnya benteng industri hasil tembakau. Negara kehilangan pemasukan, perusahaan kehilangan laba, dan buruh kehilangan pekerjaan.
Ketika 308 orang harus pulang dengan mata berkaca-kaca, sejatinya ada pertanyaan besar yang harus dijawab pemerintah: apakah negara serius memberantas rokok ilegal, atau justru membiarkan pekerja sah jadi korban?
Penulis: Lukman.