Gorontalo, mimoza.tv – Polemik harga tebu di Gorontalo kian berlarut. Rapat yang mempertemukan Dirjen Perkebunan Kementerian Pertanian RI, PT Pabrik Gula (PG) Gorontalo, Asosiasi Petani Tebu Rakyat Indonesia (APTRI), dan jajaran Forkopimda Provinsi Gorontalo di Rumah Jabatan Gubernur, Kamis (2/10/2025), justru menelurkan keputusan berbeda dari kesepakatan sebelumnya.
General Manager PG Gorontalo, Ir. Mbantu Karo-Karo, menegaskan perusahaan sangat dirugikan akibat inkonsistensi tersebut.
“Dalam rapat daring 7 September, disepakati harga Rp660 ribu per ton hanya berlaku untuk sisa tebu sekitar 30 hektare yang belum ditebang. Tapi tiba-tiba di rapat hari ini berubah: harga Rp660 ribu diberlakukan untuk seluruh tebu sejak 21 Juli ke atas, sementara yang sebelumnya masih Rp540 ribu. Ini jelas tidak konsisten,” tegas Mbantu.
Menurutnya, kebijakan yang berubah-ubah bukan saja membingungkan, tetapi juga membebani perusahaan yang memiliki lebih dari 2.000 karyawan.
“Ini bukan soal main-main. Kalau dasar keputusan saja tidak konsisten, bagaimana mungkin kami bisa menjalaninya di lapangan? Perusahaan dirugikan, karyawan pun ikut terdampak,” tambahnya.
PG Gorontalo menegaskan, pihaknya sebenarnya sudah meneken perjanjian resmi dengan 4 Koperasi Petani Tebu Rakyat (KPTR) dan 28 ketua kelompok tani pada 31 Desember 2024. Harga awal ditetapkan Rp510 ribu per ton, lalu naik menjadi Rp540 ribu per ton setelah ada hasil survei biaya pokok produksi (BPP) pada April 2025 yang dilakukan tim independen dari sejumlah perguruan tinggi dan lembaga penelitian.
Namun, surat perubahan harga pada 21 Juli 2025 yang menetapkan Rp660 ribu per ton justru terbit tanpa ada survei ulang khusus di Gorontalo.
“Yang lebih membingungkan lagi, ada klaim PG sudah setuju. Padahal dokumen yang ditunjukkan hanya tanda tangan staf kami di rapat taksasi produksi, bukan persetujuan harga,” jelas Mbantu.
Ia juga menyoroti absennya pihak KPTR dalam forum rapat tersebut. “Seharusnya yang hadir adalah KPTR dan 28 ketua kelompok tani, karena merekalah mitra resmi kami. Perjanjian kami tidak pernah dengan APTRI,” tandasnya.
Di sisi lain, PG Gorontalo juga mempertanyakan data produksi yang menjadi dasar penetapan harga. Hasil survei resmi mencatat produksi tebu sebesar 79,5 ton per hektare, tetapi oleh Ditjen Perkebunan justru diubah menjadi 70 ton per hektare.
“Dirjen sendiri tadi mengakui ada kekeliruan data. Anehnya, dari data yang benar justru diubah menjadi salah. Ini semakin menambah ketidakpastian bagi kami,” ungkap Mbantu.
Dengan kondisi ini, PG Gorontalo menilai bukan hanya perusahaan yang dirugikan, tetapi juga kepastian hubungan kemitraan dengan petani tebu yang selama ini berjalan melalui KPTR.
Penulis: Lukman