Gorontalo, mimoza.tv – Perdebatan mengenai fungsi jalur pejalan kaki atau trotoar di Provinsi Gorontalo kembali menghangat. Asosiasi Pengajar Hukum Tata Negara dan Hukum Administrasi Negara (APHTN-HAN) Provinsi Gorontalo melalui salah satu rilisnya menegaskan bahwa trotoar hanya diperuntukkan bagi pejalan kaki.
Namun, pandangan tersebut langsung mendapat tanggapan dari praktisi hukum Gorontalo, Andri Ws Gani, SH. Menurutnya, pernyataan Ketua PW APHTN-HAN Gorontalo, Dr. Novendry Nggilu, dinilai kurang merujuk pada regulasi yang lebih komprehensif mengenai fungsi sosial jalur pejalan kaki.
“Dr. Novendry Nggilu tampaknya belum membaca secara utuh Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 03/PRT/M/2014 tentang Pedoman Perencanaan, Penyediaan, dan Pemanfaatan Prasarana dan Sarana Jaringan Pejalan Kaki di Kawasan Perkotaan,” ujar Andri, Minggu (19/10/2025).
Ia menjelaskan, dalam Pasal 13 ayat (2) peraturan tersebut disebutkan bahwa pemanfaatan prasarana pejalan kaki tidak hanya untuk pejalan kaki, tetapi juga memiliki fungsi sosial dan ekologis, seperti kegiatan bersepeda, interaksi sosial, usaha kecil formal, pameran ruang terbuka, jalur hijau, dan sarana pejalan kaki itu sendiri.
Lebih lanjut, Andri menyebutkan bahwa dalam lampiran peraturan menteri itu juga ditegaskan bahwa prasarana jaringan pejalan kaki merupakan ruang publik yang dapat dimanfaatkan untuk kegiatan usaha kecil formal (KUKF).
“Sebagai lembaga akademik, semestinya APHTN-HAN membaca secara utuh dan tidak mendelegitimasi peraturan ini. Saya tidak tahu apakah memang disengaja tidak disebut, atau memang belum dibaca secara menyeluruh,” ujarnya menambahkan.
Menurut Andri, Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan juga tidak menyebutkan bahwa trotoar hanya diperuntukkan bagi pejalan kaki. Dalam Pasal 131 ayat (1) disebutkan, trotoar merupakan salah satu fasilitas pendukung bagi pejalan kaki, namun bukan berarti penggunaannya dibatasi secara mutlak hanya untuk itu.
“Fungsi trotoar jangan dimaknai sempit. Di situ ada ruang sosial dan ekologis yang bisa dimanfaatkan masyarakat, termasuk untuk kegiatan ekonomi kecil,” terang Andri.
Lebih jauh, ia menilai perdebatan hukum ini tidak bisa hanya dilihat dari sisi normatif semata, tapi juga dari sisi kemanfaatan (utilitis). Terlebih, di tengah kondisi ekonomi daerah yang mengalami pemotongan dana transfer dari pusat, ruang-ruang ekonomi seperti ini seharusnya dimanfaatkan, bukan dibatasi.
“Pemerintah mestinya mencari solusi, bukan menutup ruang ekonomi masyarakat. Masyarakat kota itu juga bagian dari masyarakat provinsi,” tegasnya.