Mimoza.tv — Di sebuah koridor Pengadilan Negeri, siang itu cahaya matahari jatuh dari sela kanopi, membentuk garis-garis terang di lantai. Di tengah keteduhan yang semu itu, seorang anak laki-laki kecil berjinjit, tangannya meraih jeruji besi yang memisahkan ia dan ibunya. Momen singkat, hening, namun terasa begitu panjang.
Sang ibu berada di balik sel tahanan perempuan. Ia duduk bersandar pada dinding, menunggu jadwal sidangnya dipanggil. Wajahnya tampak letih, namun matanya berubah hidup begitu anaknya mendekat. Dari balik jeruji itu, ia tersenyum tipis—senyum yang mengandung berlapis-lapis rasa bersalah, kerinduan, sekaligus ketidakberdayaan.
Anaknya, yang mungkin belum memahami apa itu dakwaan, apa itu pasal, atau mengapa ibunya tidak bisa pulang bersamanya, hanya tahu satu hal: ibunya ada di sana, tetapi tidak bisa ia peluk.
Pertemuan mereka tak berlangsung lama. Menurut petugas, kesempatan seperti ini biasanya hanya terjadi sekali dalam sepekan, pada hari sidang, sebelum atau sesudah proses persidangan dimulai. Setelah itu, jarak kembali menutup; jeruji kembali mengambil alih.
Tak ada yang bisa menyangka hidup bisa berbelok secepat itu.
Setiap orang tua tentu berharap bisa menghadirkan rumah yang utuh bagi anaknya. Namun ketika masalah datang—baik persoalan rumah tangga maupun persoalan hukum—anaklah yang sering menjadi korban paling diam. Mereka mungkin tidak mengeluh, tetapi perpisahan, keterbatasan waktu bertemu, dan situasi tak biasa itu menorehkan jejak yang tidak terlihat.
Sebagai makhluk yang diberi akal dan pikiran, orang tua sejatinya dituntut untuk menjaga agar gejolak dan masalah yang menimpa mereka tidak merembes menjadi beban batin bagi anak-anak. Namun kenyataan di lapangan kerap berkata lain: ketika orang dewasa terjerat perkara atau konflik, anak-anak harus ikut merasakan akibat yang tidak pernah mereka pilih.
Di salah satu sudut koridor, seorang perempuan yang mendampingi keluarga itu berbisik pelan, “Setiap kali hari sidang, dia gelisah. Dia hanya ingin lihat ibunya meski sebentar.”
Sementara dari balik jeruji, sang ibu hanya menatap lama-lama, seakan sedang menghafal wajah anaknya untuk bekal satu pekan ke depan sebelum kesempatan berikutnya tiba.
Pemandangan seperti ini bukan hal baru di pengadilan manapun. Namun setiap kali terjadi, ia selalu menghadirkan tamparan halus: bahwa sebuah perkara hukum tak hanya memenjarakan seseorang, tetapi juga merenggut ritme kehidupan keluarga yang paling dasar.
Di hadapan jeruji itu, anak kecil itu mengajarkan satu hal sederhana namun dalam: bahwa rindu tidak pernah mengenal batas besi—tetapi beban hidup orang dewasa seharusnya tidak perlu ikut ditanggung oleh bahu mungil sepertinya.
Penulis: Lukman.



