Oleh : Funco Tanipu (Dosen Jurusan Sosiologi, Fakultas Ilmu Sosial, Universitas Negeri Gorontalo)
Ujung dari soal RUPS Bank Sulut Gorontalo atau disingkat BGS adalah ancaman menarik dana Pemda oleh beberapa kepala daerah di Gorontalo dari BSG.
Ancaman dari beberapa kepala daerah itu bermula dari tidak adanya perwakilan Gorontalo yang duduk di Komisaris maupun Direksi saat Rapat Umum Pemegang Saham di Bank Sulut Gorontalo.
Ada yang mengatakan bahwa jika mengikuti prosedur, memang Gorontalo tidak memiliki hak untuk mendudukkan wakilnya. Ada juga yang menyebut ketidakompakan elit Gorontalo dalam pengusulan wakil. Hingga ada suara-suara yang terdengar lirih bahwa “Sulut so bage rata ini”.
Kekecewaan itupun berlanjut dengan berbagai macam nada ancaman untuk menarik dananya di BSG.
Saya tidak ingin masuk terlalu dalam soal proses RUPS. Bukan soal itu yang mau saya bahas. Saya ingin menyoroti soal mengapa nama dari Gorontalo tidak bisa dikerucutkan.
Dugaan saya sederhana, ini masih berkisar pada tarikan kepentingan antar satu kutub dan kutub lainnya dalam politik lokal. Masing-masing ingin mengajukan nama, dan mereduksi yang lain.
Soal apa kepentingan masing-masing kutub itu persoalan lain. Saya ingin menekankan pada kultur Gorontalo tentang rekrutmen elit. Termasuk bagaimana menyiasati rekrutmen elit dalam konteks apapun.
Biasanya, jika memasuki tahapan atau prosesi kontestasi, pertarungan atau kompetisi, selalu muncul kalimat “tita taliye botiye”, “tita taboti”, dan “tita yi’o”. Kalimat itu berbentuk pertanyaan, tapi sebenarnya bukan pertanyaan.
Dalam kasus rekrutmen, atau misalnya dalam mengajukan nama seseorang untuk menjabat atau menduduki jabatan tertentu, pasti akan ada yang berujar ; tita taliye/yi’o.
Bukan untuk menanyakan siapa dirinya, tapi semacam meremehkan, memeriksa dan “menggeledah” riwayat hidup orang tersebut. Tetapi lebih beratnya ke “ce’ah”. Nada pesimis dan terkesan tidak menghiraukan nama tersebut. Apalagi orang tersebut tidak memiliki latar belakang yang memadai, bukan masuk dalam lingkaran “ngala’a” yang kuat.
Jika hal itu sudah dilontarkan oleh para tokoh atau elit, maka nama tersebut kemungkinan besar akan terpental dari proses rekrutmen.
Tetapi, jika pertanyaan atau pernyataan tentang “tita taliye/tiyo” diabaikan, maka biasanya akan diikuti “nde de mobilohe” atau “nandi yi’o”. Lalu disambung, “potala bolo” sambil menganggukkan kepala, bukan tanda setuju, tapi semacam peringatan.
Jika hal itu sudah dilontarkan, maka tutuhiya hingga bubuwahula pun akan terjadi. Macam-macam siasat akan dikeluarkan, pada pokoknya ; mamo olota!. Wanu ja ami, ja tingoli!.
Pada konteks itu, jika sudah masuk pada tahap kesumat, seluruh jurus dikeluarkan ; modedelowa bijana sampai ramba-ramba lo depula ma popotombotolo, madidu pomake motubu.
Ada yang memaknai hal ini sebagai iri hati, ada juga yang menyebut ini sebagai kalah bersaing. Tapi sederhananya, akarnya ada pada proses rekrutmen elit Gorontalo yang sedemikian ketat. Tidak boleh asal rekrut, tidak bisa sembarangan mengusulkan nama. Apalagi yang mengusulkan “nenge ma’o-nenge ma’o”.
Rekrutmen elit Gorontalo jika tidak transparan, dalam artian tidak disetujui semua elit atau pihak yang terkait, apalagi kualifikasi yang tidak memadai, ditambah tanpa melalui proses sosialisasi yang panjang atau tidak melalui proses dudula pada semua tokoh, yang diharapkan dari proses dudula tersebut agar bisa menghargai tokoh/tetua masyarakat/adat. Hingga harus persetujuan semua arah mata angin.
Nah, jika ada yang hendak di endorse tanpa melalui proses diatas, maka “bolo wulatilo”. Katakanlah dalam proses tersebut bisa menduduki jabatan, tapi dipastikan akan diganggu dan diupayakan “moobo huta”.
Dan ketika elit tersebut yang tidak melalui tahapan diatas lalu misalnya jatuh, maka orang-orang akan bergumam : wolo pilele, ngga rasayi poma’o utiye.
Maka jika ada elit/atau merasa sudah elit ditolak oleh elit secara umum, berarti ada tahapan atau kode etik yang dilanggar atau dilewati.
Karena jika sudah melanggar hal diatas, maka akan lebih sulit “molame”, apalagi skill dan keahlian “totame” yang terbatas, dan deretan elit yang mendukung juga sedikit, ditambah tidak masuk dalam lingkaran “ngala”a” yang kuat untuk membentengi. Maka, siap-siap melawan atau membentengi diri baik secara teknis politik ataupun non teknis lainnya.
Namun, bagi elit atau yang di endorse melalui tahapan dudula yang etis ditambah dengan sikap yang molamahu dan motolongala’a yang baik, maka elit ataupun yang di endorse pasti akan “ma podu’awa liyo” dan “mapodahawa liyo”, karena dianggap bagian dari ngala’a walaupun tidak sedarah.