Gorontalo, mimoza.tv – Simposium nasional konservasi burung maleo Senkawor (Macrocephalon Maleo) bertema ‘Maleo Warisan Dunia’ digelar selama 2 hari, Senin-Selasa (21-22/11/2022) di Gedung Bapelitbangda Kabupaten Bolaang Mongondow Selatan (Bolsel).
Kegiatan hybrid yang dilaksanakan dalam rangka Hari Maleo Sedunia ini dilaksanakan secara kolaboratif oleh Pemerintah Kabupaten Bolaang Mongondow Selatan, Wildlife Conservation Society – Indonesia Program (WCS-IP), Balai Konservasi Sumber Daya Alam (KSDA), Balai Taman Nasional Bogani Nani Wartabone (TNBNW), Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), ALTo dan Perkumpulan Biodiversitas Gorontalo (Biota).
“Maleo Senkawor adalah hewan endemik Sulawesi yang keberadaannya ada di daerah kami. Kami masyarakat dan pemerintah Kabupaten Bolaang Mongondow Selatan merasa bangga turut melestarikan satwa kebanggaan Indonesia,” kata Iskandar Kamaru Bupati Bolaang Mongondow Selatan.
Keseriusan Pemerintah Kabupaten Bolaang Mongondow Selatan ini bahkan diwujudkan dengan memproduksi baju batik maleo yang telah dipatenkan.
Iskandar Kamaru menjelaskan keseriusan pemerintahnya dalam melestarikan maleo dan habitatnya ini sudah melahirkan Perda Pengungsian Satwa di koridor Tanjung Binerean yang meliputi satu kesatuan bentang alam dari wilayah pesisir hingga ke arah taman nasional Bogani Nani Wartabone yang meliputi area seluas 3000 ha.
Setali tiga uang, Sulawesi Program Manager WCS-IP Iwan Hunowu menjelaskan, symposium ini dilaksanakan untuk lebih memahami tantangan konservasi, mengindetifikasi upaya dan inovasi pelestarian, serta memperluas jangkauan dan menyatukan upaya konservasi burung maleo.
“Kami telah mengundang para pihak sebagai pembicara dalam seminar ini yang telah terlibat dan berjasa dalam pelestarian burung maleo senkawor,” ujar Iwan Hunowu.
Sementara itu Kepala Balai Konservasi Sumber Daya Alam Sulawesi Utara Askhari Dg Masikki dalam paparannya menjelaskan status perlindungan burung unik ini adalah Peraturan Pemerintah (PP) nomor 7 tahun 1999, Peraturan Menteri LHK P.106/2018 dan Apendiks I dilarang diperdagangkan dan dalam daftar merah IUCN tahun 2021 yang masuk dalam status keterancaman Critically endangered.
“Ancaman burung maleo antara lain terjadinya alih fungsi lahan, degradasi lahan/hutan, perburuan, pengambilan telur, terjadi abrasi pantai/sungai, nesting ground tertutup tumbuhan pengganggu, terputusnya koridor/jelajah dan adanya predator alami,” kata Askhari Dg Masikki.
Kepala Balai TNBNW Supriyanto juga memaparkan keberadaan burung maleo di dalam kawasan taman nasional.
“Sebaran lokasi peneluran maleo di TNBNW terdapat di 8 lokasi, 6 lokasi aktif 5 di antaranya sudah dikelola, di Tambun, Muara Pusian, Hungayono, Pohulongo dan Tumokang/Matayangan. Satu loaksi belum dikelola yaitu di Pilomanua, 2 lokasi tidak aktif di Sinondu dan Leda-leda,” ungkap Supriyanto.
Dalam simposium menyemarakkan Hari Maleo Sedunia 21 November yang diikuti lebih dari 198 orang peserta ini menghadirkan sejumlah pakar sebagai pembicara utama, yaitu Drh Indra Eksploitasia MSi Direktur KKHSG Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Marcy Summer Direktur dan Co-Founder ALTo, Drh Supriyanto Kepala Balai TNBNW, Marc Argeloo naturalist dan peneliti maleo, Pramana Yudha dosen Universitas Atmajaya dan Presiden IdOU, Alfons Patandung WCS-IP. Sedangkan sebagai narasumber adalah Askhari Dg Masikki Shut Kepala BKSDA Sulawesi Utara, Ir H Hasmar MSi Kepala BKSDA Sulawesi Tengah, Abdul Rajab STP MP Kepala Bidang PTNW I Saluki BBTN Lore Lindu, Kadek Wijayanto SH MH Ketua Forum Pengelolaan Koridor Hidupan Liar Tanjung Binerean, Vivi Megayanti Tan Oga SH dari Aliance for Tompotika Conservation (ALTo), Yusuf Wahil Kelompok Jaga Maleo Sulawesi Barat, Dr John S Tasirin MScF dosen Universitas Sam Ratulangi, dan M Andre Rofiansyah Hrp SPt dari Lawalata IPB.
Sebagai penyanggah Prof Dr Dewi Malia Prawiradilaga MSc, Dr Titiek Setyawati MSc dan Dr John S Tasirin MScF. Sedangkan sebagai moderator adalah Hanom Bashari, Danny Albert Rogi dan Debby Mano. (rls/luk)