Apa yang sedang terjadi?
Dalam lima tahun terakhir, TikTok telah menjadi panggung virtual terbesar dunia. Lebih dari sekadar aplikasi hiburan, TikTok kini mempengaruhi cara orang berbicara, berpakaian, bahkan memandang hidup. Di Indonesia sendiri, jutaan pengguna aktif setiap hari mengakses aplikasi ini, dari anak-anak hingga orang tua. Namun seiring ledakan popularitasnya, muncul pula kekhawatiran: apakah platform ini membawa lebih banyak manfaat, atau justru kerusakan dalam tatanan sosial kita?
Siapa yang terdampak?
Siapa pun yang memiliki ponsel dan akses internet, bisa terdampak. Anak remaja yang belum matang secara emosional mulai menggantungkan harga diri pada angka like. Pasangan rumah tangga bisa berselisih karena aktivitas online yang tak lagi terbatas ruang privat. Bahkan tokoh publik dan pejabat pun tak luput dari kontroversi gara-gara konten TikTok yang menyebar luas dan seringkali di luar konteks.
Apa sisi positifnya?
Tidak adil jika kita hanya menyalahkan. TikTok telah menghadirkan panggung demokratis bagi kreativitas rakyat biasa. Banyak talenta muda, UMKM, budayawan, hingga pendidik yang memanfaatkan TikTok untuk menyampaikan pesan-pesan positif. Seorang guru matematika bisa viral karena metode mengajarnya yang unik. Seorang petani bisa menjual hasil buminya langsung ke konsumen. Bahkan kampanye sosial—seperti bantuan korban bencana atau advokasi lingkungan—bisa meluas dengan cepat berkat TikTok.
Namun di mana letak masalahnya?
Masalahnya muncul ketika platform ini digunakan tanpa kesadaran dan etika. Banyak konten viral justru berisi pamer kemewahan, gaya hidup bebas, bahkan kekerasan verbal yang dinormalisasi. Tak sedikit pula yang mengejar sensasi dengan melanggar norma sosial atau agama. “Media sosial hari ini seperti pisau, bisa digunakan untuk mengiris roti atau menyakiti diri sendiri,” kata Dahlan Iskan, mantan CEO Jawa Pos Group, dalam salah satu tulisannya.
Mengapa ini berbahaya?
Karena perubahan sosial yang ditimbulkan sangat cepat, masif, dan seringkali tidak disadari. Tanpa fondasi nilai yang kuat, masyarakat bisa terseret arus konten viral dan kehilangan arah. Nilai kerja keras tergeser oleh ketenaran instan. Kepekaan sosial terkikis oleh kebutuhan tampil. Bahkan keutuhan keluarga bisa terancam karena batas antara privat dan publik menjadi kabur.
Bagaimana seharusnya kita menyikapi?
Pertama, literasi digital harus menjadi agenda penting di setiap rumah, sekolah, dan ruang publik. Kedua, para pembuat kebijakan perlu melibatkan para ahli untuk merancang regulasi yang adil—tidak mengekang kreativitas, tapi tetap menjaga etika sosial. Ketiga, pengguna TikTok sendiri harus menjadi filter pertama bagi dirinya. Jika ingin kontennya bermanfaat, maka mulailah dengan bertanya: apakah video ini membangun, atau hanya menambah kegaduhan?
Penutup
TikTok adalah cermin masyarakat hari ini—apa yang kita tonton, apa yang kita unggah, itulah potret kita. Jika kita ingin wajah masyarakat tetap sehat, maka mari gunakan TikTok dengan bijak. Bukan hanya untuk mencari perhatian, tapi untuk berbagi nilai. Seperti kata Mahatma Gandhi: “Be the change you want to see in the world.”