Gorontalo, mimoza.tv – “Ucapan sehari-hari adalah cermin dari pikiran terdalam seseorang.” Petuah James Pennebaker, pakar psikologi bahasa ini, seakan menegur kita yang kadang abai dengan apa yang keluar dari mulut. Sebab dari lisanlah, watak sering kali terbongkar tanpa perlu tes kepribadian yang rumit.
Coba perhatikan di sekitar kita. Ada orang yang kalimatnya tak pernah lepas dari umpatan. Alih-alih terlihat tegas, justru memperlihatkan rapuhnya kendali diri. Ada pula yang suaranya cepat meninggi dalam obrolan sepele. Mudah tersinggung, mudah marah, dan lebih sibuk memenangkan debat ketimbang merawat akal sehat.
Belum lagi tipe yang paling banyak dijumpai: gemar menyalahkan orang lain. Dari “gara-gara kamu…” sampai “kalau bukan dia…”. Ucapannya sederhana, tapi maknanya jelas: berat sekali rasanya mengakui kesalahan sendiri.
Lawan dari itu, ada pribadi yang sejuk didengar: sportif. Mereka ringan berterima kasih, lapang dada mengakui salah, dan bahkan bisa memuji lawan bicara. Tidak kehilangan harga diri, justru semakin dihormati.
Ada juga yang tampak visioner, sering bicara soal target dan mimpi. Ambisi memang penting, asal tidak berubah jadi ego yang menindih orang lain. Sebab, ambisi tanpa kendali hanyalah keserakahan yang berkedok prestasi.
Di sisi lain, ucapan yang merendahkan orang lain—“ah, cuma begitu saja” atau “siapa dia”—sering kali lebih jujur daripada yang diucapkan. Karena di balik suara lantang itu, tersembunyi rasa minder yang ditutupi dengan meremehkan.
Semua ini memberi kita pelajaran sederhana: kata-kata tidak pernah netral. Lisan bisa mengangkat martabat, bisa pula menelanjangi aib watak.
Dan di tengah hiruk pikuk dunia digital, barangkali penting untuk mengingat pepatah lama: lidah itu lebih tajam dari pedang. Bedanya, pedang hanya melukai tubuh, sedangkan kata bisa menorehkan luka di dalam jiwa.
📌 Catatan Redaksi: Belajar mengenali orang lain dari ucapannya memang penting. Tapi lebih penting lagi, bercermin pada diri sendiri: sudahkah lisan kita menjadi cermin watak yang baik?