Gorontalo, mimoza.tv –Sugiarto Hadji Ali, SH, CVM,CPArb,CPL,CPM, selaku anggota tim kuasa hukum Anggota DPRD Provinsi Gorontalo, Adhan Dambea mengatakan, seorang saksi yang dihadirkan dalam persidangan itu telah diambil sumpah terlebih dahulu sebelum memberikan keteranga dihadapan majelis hakim.
Olehnya kata dia, seharusnya seorang saksi harusnya santai dalam menjawab setiap pertanyaan, sesuai dengan apa yang ia ketahui.
Dalam sidang kasus pencemaran nama baik dengan terdakwa Adhan Dambea misalnya. Sugiarto melihat, apa yang disampaikan oleh saksi Noviansyah Abdussamad ada yang tidak berkesesuaian dengan apa yang ada di Berita Acara Pemeriksaan (BAP) di kepolisian. Sehingga majelis hakim menanyakan ke saksi, mana yang akan di pakai. Apakah keterangan di BAP atau keterangan dalam persidangan.
“Memang kalau berbicara saksi itu terkadang ada hal yang mereka khawatirkan. Makanya kadang kala saksi itu dua jawaban yang melekat sama mereka, tidak tau atau lupa,” ucap Sugiarto diwawancarai usai persidangan di PN Tipikor Gorontalo, Jumat (27/5/2022).
Demikian juga lanjut Sugiarto, keterangan dari saksi Mardun Sadue alias Mardun, yang merupakan saksi kedua yang dimintai keterangan dalam sidang tersebut. Bahkan kata dia, hampir semua keterangan saksi Mardun ini berbeda.
“Hampir semua. Termasuk tanggal, hari, bahkan bulan itu berbeda. Keterangannya dihadapan majelis itu bulan Mei. Sementara yang ada di BAP itu bulan Februari. Itu saya tidak tau mengapa berbeda. Kalau masalah atau peristiwa seseorang atau yang ia kenal, pasti tidak akan lupa. Makanya tadi saya tanyakan ke saksi, sehat atau tidak. Santai saja. Mana yang kita tau itu yang kita bilang di sidang. Makanya saya melihat tadi ada sesuatu terhadap kondisi saksi. Contohnya seperti sering memijit-mijit kepala,” imbuh pengacara yang makin bersinar ini.
Menurut Sugiarto, dalam persidangan itu jika ada perbedaan keterangan, maka patut diduga ada sesuatu dibalik itu. Olehnya kata dia, seorang saksi cukup memberikan keterangan sesuai dengan apa yang dia tau.
Di tanya soal jika seorang saksi memberikan keterangan bohong dalam persidangan, Sugiarto mengatakan, berbohong di dalam ruang sidang bukan saja suatu tindak pidana, tetapi juga relatif berat dari sisi ancaman pidana.
Pada pasal 242 ayat (1) KUHP kata dia, mengancam hukuman tujuh tahun bagi siapapun dengan sengaja memberi keterangan palsu di atas sumpah, baik lisan maupun tertulis, secara pribadi maupun oleh kuasanya yang ditunjuk untuk itu.
“Ayat (2) malah lebih berat. Memuat ancaman maksimal sembilan tahun bagi siapapun yang memberikan keterangan palsu di persidangan, jika keterangan palsu itu ternyata merugikan terdakwa atau tersangka. Oleh ayat (4) pasal yang sama, hakim diberi wewenang untuk menerapkan pidana tambahan berupa pencabutan hak yang diatur dalam Pasal 35 KUHP,” pungkasnya.
Pewarta : Lukman.