Gorontalo, mimoza.tv – Ruang publik kini berubah menjadi ruang tafsir. Beberapa hari terakhir, masyarakat Kota Gorontalo disuguhi perdebatan tak berujung soal fungsi trotoar. Apakah trotoar hanya milik pejalan kaki? Ataukah bisa juga dimanfaatkan sebagai ruang hidup bagi pelaku Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM)?
Saling silang pendapat antara Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kota Gorontalo pun tak terhindarkan. Pihak Pemerintah Provinsi berpegang pada tafsir normatif bahwa trotoar diperuntukkan khusus bagi pejalan kaki sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.
Sementara itu, Pemerintah Kota Gorontalo tetap pada argumentasi bahwa trotoar juga dapat dimanfaatkan sebagai ruang aktivitas ekonomi masyarakat kecil.
Menanggapi hal tersebut, Akademisi Fakultas Hukum Universitas Ichsan (UNISAN) Gorontalo, Jupri, SH, M.H, memberikan pandangan kritisnya saat dihubungi mimoza.tv melalui pesan WhatsApp.
“Berbeda pendapat dalam menafsirkan aturan hukum itu sah-sah saja. Pemerintah Provinsi tidak keliru jika berpegang pada fungsi tunggal trotoar untuk pejalan kaki. Begitu pula pandangan Wali Kota Gorontalo yang melihat trotoar bisa dimanfaatkan untuk kegiatan ekonomi masyarakat,” ujarnya.
Menurut Jupri, perbedaan tafsir tersebut berakar dari aliran pemikiran hukum yang berbeda. Ia menilai pendekatan yang digunakan Pemerintah Provinsi mencerminkan aliran positivisme hukum, sebagaimana diperkenalkan oleh John Austin, yang menekankan hukum sebagai teks tertulis yang berdiri sendiri, terpisah dari nilai moral atau konteks sosial.
“Dalam aliran ini, kepastian hukum menjadi titik beratnya. Namun, jika ditelaah lebih jauh, fungsi trotoar sesungguhnya juga diatur dalam Permen PU Nomor 03 Tahun 2014, yang menegaskan bahwa trotoar memiliki fungsi sosial dan ekologis,” jelas Jupri.
Lebih lanjut, Jupri mengajak publik untuk melihat persoalan ini dengan pendekatan hukum progresif, sebagaimana diperkenalkan Prof. Satjipto Rahardjo.
“Hukum dibuat untuk melayani manusia, bukan sebaliknya. Karena itu, hukum tidak boleh kaku seperti aliran positivisme. Ia harus dinamis dan responsif terhadap perubahan masyarakat,” tegasnya.
Dengan pendekatan hukum progresif, kata Jupri, pemanfaatan trotoar semestinya dapat dilakukan secara inklusif — tetap menjaga fungsi utama bagi pejalan kaki, namun tidak menutup ruang bagi kegiatan ekonomi kecil yang hidup di sekitar ruang publik tersebut.
“Saya tidak menyalahkan pandangan positivistik, tetapi akan lebih bijak bila kita melihatnya dari perspektif hukum progresif. Trotoar adalah ruang publik yang bisa dimanfaatkan bersama tanpa menghilangkan fungsi utamanya. Karena bukankah hukum itu untuk manusia, bukan manusia untuk hukum?” pungkasnya. (rls/luk)