Gorontalo, mimoza.tv – Paguyuban Korban UU ITE (PAKU ITE) dan SAFEnet (Southeast Asia Freedom of Expression Network) meminta Komisi Nasional (Komnas) Hak Asasi Manusia (HAM) turun tangan dalam penyelesaian kasus hukum akibat Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik atau UU ITE.
Koordinator PAKU ITE, Muhammad Arsyad mengatakan,UU ITE kerap digunakan untuk memberangus kebebasan berekspresi dan berpendapat yang merupakan hak asasi manusia.
Hal tersebut terlihat dari para pelapor yang berasal dari kalangan pejabat, aparat dan pemodal. Sebaliknya, terlapor adalah orang-orang yang berhadapan dengan pemilik modal atau penguasa.
“Yang banyak terjadi saat ini, bahwa korban-korban ITE itu hanya menjadi senjata oleh aparat penegak hukum, pemilik modal atau penguasa untuk menjerat para korban yang melakukan kritikan atau investigasi yang menurut mereka tidak adil atau lumrah,” jelas Muhammad Arsyad di Kantor Komnas HAM, Jakarta, Kamis (8/11/2018).
Arsyad merupakan korban UU ITE yang dilaporkan oleh Kadir Halid atas tuduhan pencemaran nama baik karena status di blackberry messenger. Selain Arsyad ada Ervani warga Yogyakarta yang dilaporkan oleh pimpinan perusahaan tempat suaminya bekerja karena menulis tentang kapasitas kepemimpinannya.
Di samping itu, ada dua aktivis, yaitu Anindya Shabrina (Surabaya), Deni Erliana (Bogor) dan jurnalis Zakki Amali (Semarang) yang menjadi korban UU ini.
Sementara Koordinator SafeNet, Damar Juniarto menambahkan ada 381 korban yang dijerat UU ITE, khususnya dengan pasal 27, ayat (3) dan pasal 28, ayat (2) sejak aturan ini diundangkan pada 2008. Sembilan puluh persen dari jumlah itu dijerat dengan tuduhan pencemaran nama baik, dan sisanya dengan tuduhan ujaran kebencian.
Damar mengusulkan agar Komnas HAM mengadopsi pola advokasi Dewan Pers dalam menghadapi sengketa pers, yaitu dengan membuat Nota Kesepahaman (MoU) dengan Kapolri tentang Perlindungan Kemerdekaan Pers dan Penegakan Hukum Terkait Penyalahgunaan Profesi Wartawan.
“Kalau gagasan ini diadopsi, tentu tidak semua kasus karena banyak sekali, tapi pada kasus-kasus yang bisa diuji, apakah ekspresi ini harus dilindungi atau tidak. Mungkinkah Komnas HAM berperan seperti Dewan Pers. Tapi prasyaratnya kan harus MoU dengan Kapolri untuk bisa mengintervensi,” jelas Damar.
Di samping itu, Damar juga berharap Komnas HAM dapat menjadi saksi ahli di pengadilan untuk kasus-kasus akibat UU ITE yang sudah berjalan di peradilan.
Menanggapi hal itu, Komisioner Komnas HAM Beka Ulung Hapsara menyatakan lembaganya membuka diri dalam penyelesaian permasalahan UU ITE. Termasuk memberikan rekomendasi terkait kasus-kasus UU ITE yang bertujuan untuk kebebasan berpendapat dan kebebasan berekspresi.
Namun menurutnya, lembaganya perlu duduk bersama dengan sejumlah lembaga yang memiliki fokus dalam persoalan UU ITE untuk memperjelas peran Komnas HAM dalam UU ITE.
“Komnas HAM sekarang juga sedang memperbanyak MoU dengan banyak pihak untuk memasukkan prinsip dan standar HAM dalam setiap kebijakan mereka. Artinya, baik (baik) pemerintah pusat, pemda dan aparat penegak hukum, karena penting bagi aparat penegak hukum untuk mempertimbangkan HAM dalam setiap putusannya,” jelas Beka.
Meski belum ada MoU dengan kepolisian, Beka menjelaskan korban UU ITE tetap dapat melapor ke lembaganya untuk mendapatkan perlindungan dari Komnas HAM. Namun demikian, ia meminta pelapor menyertakan data dan bukti-bukti untuk mempermudah penanganannya. (Ab/lt/luk)