Jakarta,mimoza.tv — Kebijakan pemerintah menempatkan dana sebesar Rp200 triliun dari kas negara ke lima bank BUMN (Himbara) menuai kritik keras dari ekonom senior Didik J. Rachbini. Ia menilai langkah itu menabrak aturan main ketatanegaraan dan berpotensi menjadi preseden buruk dalam pengelolaan APBN.
Pemerintah melalui Kementerian Keuangan menarik dana dari Bank Indonesia dan menempatkannya dalam bentuk deposito on call pada lima bank Himbara: Bank Mandiri, Bank BRI, Bank BNI, Bank BTN, dan Bank Syariah Indonesia (BSI).
Berdasarkan laporan sejumlah media, Bank Mandiri, BRI, dan BNI masing-masing menerima Rp55 triliun, BTN Rp25 triliun, dan BSI Rp10 triliun. Penempatan dana dilakukan tanpa proses lelang, dengan alasan mempercepat penyaluran kredit dan menjaga likuiditas perbankan.
Namun, Didik menilai kebijakan itu menyimpang dari tata kelola keuangan negara yang diatur dalam konstitusi dan undang-undang.
“Anggaran negara itu bukan uang perusahaan yang bisa dipindah seenaknya. Setiap rupiah harus melalui proses legislasi bersama DPR,” tegas Didik seperti dikutip dari Sindonews.
Ia menambahkan, pemindahan dana sebesar itu tanpa persetujuan legislatif justru menabrak aturan dasar pengelolaan keuangan negara sebagaimana diatur dalam UUD 1945 Pasal 23, UU No. 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, UU APBN, serta UU No. 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara.
“Kalau pola semaunya ini dibiarkan, nanti anggaran publik bisa dipakai sesuka pejabat. Hari ini Rp200 triliun, besok bisa lebih, tanpa ada pembahasan di DPR. Ini sangat berbahaya,” ujarnya.
Didik juga menyoroti bahwa proses legislasi APBN sudah diatur ketat: dimulai dari penyusunan Rencana Kerja Pemerintah (RKP), pembahasan bersama DPR, hingga disahkan dalam sidang paripurna.
“Tidak ada ceritanya program nyelonong di tengah jalan lalu dibiayai negara. Itu menyalahi prosedur, bahkan bisa dikategorikan pelanggaran konstitusi,” ucapnya.
Penulis: Lukman.