Kematian Antum Abdullah, tersangka dalam kasus dugaan gratifikasi proyek peningkatan Jalan Pandjaitan, Kota Gorontalo, tampaknya membawa dampak bagi penanganan perkara yang tengah bergulir di Kejaksaan Tinggi Gorontalo. Tepat pada 25 Desember, Antum yang juga mantan Kepala Bidang Bina Marga Dinas PUPR Kota Gorontalo, meninggal dunia. Peristiwa ini secara otomatis mengharuskan penghentian perkara yang melibatkan dirinya, sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku.
Namun, berhentinya perkara Antum tidak serta-merta mengakhiri penyelidikan terhadap kasus ini. Kejaksaan kini menghadapi tantangan besar untuk mengungkap pihak-pihak lain yang mungkin terlibat. Dalam sidang sebelumnya, nama Antum kerap disebut dalam dakwaan terhadap terdakwa FL, memperlihatkan bahwa perannya begitu vital dalam membongkar rangkaian aliran dana dan keterlibatan sejumlah pihak. Tidak berlebihan jika Antum disebut sebagai “Kunci Pandora” dalam kasus ini, mengingat informasi yang dimilikinya menjadi pintu menuju pengungkapan kebenaran.
Salah satu poin dakwaan Jaksa Penuntut Umum (JPU) mengungkap bahwa Antum menyerahkan uang sebesar Rp 20 juta kepada seorang pejabat berinisial NS melalui perantara IAA. Meski dinyatakan sebagai bantuan sembako untuk masyarakat terdampak bencana, sebagian besar dana justru digunakan untuk kepentingan pribadi. Selain itu, JPU juga memaparkan adanya aliran dana lebih dari Rp 1 miliar dari saksi DJ melalui saksi BP, yang ditengarai sebagai imbalan agar DJ ditunjuk sebagai penyedia jasa dalam tiga proyek Jalan Nani Wartabone.
Kini, dengan wafatnya Antum, muncul pertanyaan besar: apakah pengadilan hanya akan menyisakan terdakwa FL sebagai “penghuni” tunggal Hotel Prodeo, atau apakah kejaksaan mampu mengidentifikasi dan menjerat pihak-pihak lain yang turut berperan dalam kasus ini? Kejaksaan perlu memastikan bahwa kematian Antum tidak menjadi alasan untuk berhenti menggali kebenaran.
Menurut Kepala Seksi Penerangan Hukum (Kasi Penkum) Kejati Gorontalo, Dadang Djafar SH MH, jika perkara masih dalam tahap penyidikan dan belum dilimpahkan ke pengadilan, penghentian penyidikan akan dilakukan melalui penerbitan Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3), sesuai Pasal 77 KUHP. Namun, ini tidak berarti penyelidikan terhadap kasus secara keseluruhan ikut terhenti.
Kejaksaan kini memiliki tanggung jawab moral dan hukum untuk melanjutkan pengungkapan kasus ini, dengan memanfaatkan bukti dan fakta yang telah terungkap selama persidangan. Transparansi dan akuntabilitas menjadi kunci dalam menjaga kepercayaan publik terhadap proses hukum.
Apakah kematian Antum akan menjadi titik akhir dari investigasi ini, atau justru menjadi pemicu untuk mengungkap lebih banyak fakta? Waktu akan menjawabnya. Yang pasti, keadilan tidak boleh terhenti hanya karena salah satu tersangka meninggalkan panggung pengadilan. Kejaksaan harus melangkah lebih jauh untuk memastikan semua pihak yang terlibat mendapatkan konsekuensi hukum yang setimpal.
Redaksi.