Oleh : Funco Tanipu.
Jelang 200 an hari waktu efektif untuk Pemilu 2024, kontestasi politik di saat-saat terakhir ini akan menentukan legitimasi partai politik dan juga kepala daerah.
Mengapa kepala daerah? Sebab, hasil Pemilu juga akan menentukan apakah program pemerintah daerah bisa maksimal dijalankan atau malah dihambat oleh legiatif yang terpilih dalam Pemilu. Di beberapa daerah malah lebih ekstrim, kepala daerah dijungkalkan oleh legislatif, baik karena memang ada kesalahan administratif maupun kesalahan politik.
Pada kasus yang lain, beberapa program yang telah direncanakan matang oleh eksekutif bisa dihambat oleh legislatif hanya karena soal komunikasi dan juga persaingan politik. Legislatif dengan perangkat kekuasaannya bisa memanggil eksekutif, bahkan merekomendasikan hal-hal bisa saja berlawanan dengan apa yang dikehendaki eksekutif.
Belum lagi jika koalisi partai politik pendukung eksekutif tidak maksimal perolehan kursinya di legislatif. Bisa dipastikan pihak eksekutif akan bekerja dua kali lipat dan ekstra, dibandingkan jika koalisi partai politik pendukung yang menguasai parlemen.
Yang fatal, jika koalisi partai politik pendukung Kepala Daerah sewaktu di Pilkada lebih rendah perolehan suaranya di Pemilu dari partai politik lawan di Pilkada sebelumnya.
Sebagai contoh misalnya di Gorontalo, Pemilu 2024 akan menjadi pertaruhan legitimasi Kepala Daerah seperti Syaiful Mbuinga (Gerindra) dan Suharsih Igirisa (Golkar) di Pohuwato, Marten Taha – Ryan Kono (Golkar) di Kota Gorontalo, Hamim Pou-Merlan Uloli (Nasdem) di Bone Bolango serta Nelson Pomalingo (PPP) dan Hendra Hemeto (Golkar) di Kabupaten Gorontalo.
Untuk skala Provinsi Gorontalo dan Boalemo, Penjabat Gubernur dan Penjabat Bupati Boalemo dipastikan harus netral. Untuk Gorontalo Utara sendiri, posisi Thariq Modanggu (Golkar) akan dilematis, karena akan berakhir pada 6 Desember 2023, artinya ada jarak sekitar hampir 3 bulan dengan Pemilu 2024, sehingga dipastikan akan kehilangan legitimasi dalam memobilisasi instrumen pemerintahan (PNS).
Kepala-kepala daerah diatas tentu akan menuai efek yang positif dan negatif dari hasil Pemilu 2024. Apa saja efeknya ;
Pertama, perencanaan pembangunan baik di RPJMD, KUA/PPAS, APBD dan dokumen perencanaan lainnya akan mengalami diskusi, perdebatan dan bahkan “interupsi” secara luar biasa. Memang hal ini positif dalam konteks demokratisasi, karena akan ada keseimbangan dan menjamin mutu dalam perencanaan pembangunan. Namun, jika kehendak legislatif hanya karena agenda politik sektoral, tentu akan saling meniadakan tujuan utama.
Kedua, proses pelaksanaan pembangunan akan semakin diawasi secara ketat dan tegas. Di beberapa tempat bahkan hal-hal yang bersifat teknis akan di-RDP-kan. Hal ini positif bagi kelangsungan pembangunan. Namun, akan membuat repot pihak eksekutif. Di beberapa tempat, kewenangan pengawasan menjadi alibi untuk menggolkan kepentingan jangka pendek.
Ketiga, proses evaluasi dan monitoring akan lebih maksimal. Dalam taraf tertentu hal ini akan bagus bagi perbaikan mutu demokrasi lokal. Tapi, dalam beberapa kasus di Indonesia, kewenangan ini kerap disalahgunakan untuk agenda-agenda yang bersifat kelompok dan sektoral.
Hasil Pemilu 2024 tentu akan membuat peta politik akan semakin dinamis. Target secara makro adalah perbaikan mutu demokrasi. Secara mikro, target-target lokal seperti penurunan angka kemiskinan, penurunan angka pengangguran, menaikkan pertumbungan ekonomi, memperbaiki stabilitas inflasi, hingga menjamin social policy dan sebagainya adalah capaian yang harus disegerakan. Di sisi lain, birokrasi yang selama ini melakukan upgrading di sisi kinerja akan semakin maksimal jika ditunjang oleh desakan parlemen yang kuat. Termasuk soal rendahnya kinerja kepala daerah secara umum.
Setiap Kepala Daerah tentu secara politis akan berupaya dengan maksimal untuk menggolkan partai politik yang dikomandaninya maupun yang akan mendukungnya saat Pilkada bulan November 2024. Sebab, setiap kepala daerah tidak ingin ada gejolak dalam pemerintahannya. Mereka pasti ingin “nyaman” dalam memerintah dan berkuasa. Itu sudah garis politis yang diacu oleh setiap Kepala Daerah yang terpilih dalam skema Pilkada yang selama ini terjadi.
Diantara Kepala Daerah dan Wakil diatas, yang dipastikan akan maju di daerahnya adalah Thariq Modanggu yang maju lagi sebagai Bupati Gorontalo Utara dengan modal Golkar, Ryan Kono akan maju lagi sebagai Walikota Gorontalo dengan Golkar, Hendra Hemeto di Kabupaten Gorontalo dengan Golkar, Merlan Uloli dengan Nasdem akan maju sebagai Bupati Bone Bolango, hingga Syaiful Mbuinga yang akan maju dengan Gerindra, entah akan berpasangan dengan Suharsi Igirisasi (Golkar) atau akan ganti pasangan.
Namun, hal diatas bisa saja negatif bagi keseimbangan demokrasi jika Kepala-kepala Daerah tersebut berupaya memenangkan partai politik yang mendukungnya namun tidak mengedepankan aspek mutu sumber daya manusia Caleg yang dia majukan/dukung. Caleg-caleg yang didukung oleh Kepala Daerah (jika itu sudah menjadi fatsun politik) mestinya bukan Caleg yang hanya bisa tepuk tangan, hanya siap untuk aklamasi jika itu sesuai dengan kepentingan kepala daerah, maupun yang hanya bisa tunduk dan patuh sesuai arahan kepala daerah. Caleg yang mesti didukung tentu yang tahu dan paham soal tata kelola pemerintahan, paham kewenangan legislatif ; budgetting, controlling, legislasi, dan juga yang bisa bersikap kritis terhadap kinerja pemerintah daerah.
Tentu hal ideal diatas masih akan diuji lagi secara empirik pada momentum Pemilu 2024 nanti, karena rakyat telah berulang kali menelan pengalaman buruk soal hasil Pemilu sejak Pemilu tahun 1955. Rakyat tentu dalam hyper-reality seperti saat ini semakin tidak bisa menentukan siapa saja yang berkualitas dan bermutu. Di zaman hyper-reality saat ini, semua tampak baik, tampak alim, tampak santun dan ceria. Tapi, seperti pengalaman pada Pemilu sebelumnya, hasil Pemilu tetap tidak maksimal untuk memperbaiki mutu demokrasi, khusunya demokasi yang menyejaterahkan.
Sebab, tidak menutup kemungkinan (setiap Kepala Daerah) akan melakukan mobilisasi instrumen pegawai negeri sipil untuk diarahkan memenangkan partai politik yang didukungnya.
Walaupun demikian hal tersebut akan sulit dilakukan oleh Penjabat Gubernur Gorontalo, Penjabat Bupati Boalemo dan Penjabat Bupati Gorontalo Utara, karena ketiganya “dipaksa” aturan untuk tunduk netral. Sehingga, untuk konteks DPRD Provinsi Gorontalo, DPRD Boalemo, dan DPRD Gorontalo Utara, dipastikan tidak akan ada pemaksaan, pengerahan hingga mobilisasi instrumen pegawai negeri sipil. Di tiga daerah tersebut, pegawai negeri sipil akan lebih sedikit “bernafas lega” dan bisa netral serta memilih berdasarkan rasionalitasnya masing-masing.
Oleh karena itu, sudah semestinya berbagai organisasi masyarakat sipil mesti membangun kelembagaan politik yang dapat mengawasi secara aktif proses politik baik sejak penyusunan Daftar Caleg Sementara (DCS), Daftar Caleg Tetap (DCT), hingga memasuki pemilihan nanti pada Februari 2024.